Anies Baswedan Bicara Keseriusan Pemberantasan Korupsi hingga Etika Pimpinan KPK

JAKARTA- Masalah korupsi di Indonesia terus memperhatinkan dari tahun ke tahun. Misalnya, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2024 sebesar 3,85, menurun dibandingkan IPAK 2023.

Anies Baswedan menyampaikan, ke depan untuk menangani masalah tersebut, harus dikembalikannya suasana keseriusan dalam menangani korupsi.

"Dan keseriusan itu saya istilahkan tadi suasana. Misalnya, minim intervensi di dalam perkara-perkara. Intervensi itu apa? Intervensi itu yang bermasalah tidak diproses, yang tidak bermasalah ya jangan diproses. Itulah jenis intervensi. Jadi menghentikan atau pun melakukan kriminalisasi," katanya dikutip dari video ICW, Jumat, 4 Oktober 2024.

Menurutnya, intervensi dalam menangani korupsi di Indonesia memang sulit dibuktikan, namun hal tesebut sangat dirasakan oleh masyarakat. "Ini bukan hal yang mudah dibuktikan. Tapi ini muncul di dalam suasana. Kenapa? Iya di negeri kita ini apa sih yang nggak kedengeran. Walaupun tidak bisa dibuktikan tapi kita sering mendengar, melihat," jelasnya.

"Jadi, menurut saya penting untuk mengembalikan suasana keseriusan di dalam menangani perkara-perkara korupsi di Indonesia," tambah mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Menjaga Etika

Selain itu, kata Anies Baswedan, dalam memberantas korupsi di Indonesia, ke depan KPK harus memiliki pimpinan yang mau menjaga etika. Pasalnya, jika etika saja dilanggar, maka misi memberantas masalah tersebut akan sulit dilaksanakan.

"Sederhana saja, pimpinan KPK dan badannya itu harus dijaga marwahnya. Jadi kalau menjadi pimpinan KPK, maka dia bukan hanya harus mentaati aturan hukum, dia harus menjunjung tinggi etika. Kalau pimpinan KPK tidak menjunjung tinggi etika, jangan menjadi pimpinan KPK. Cari kegiatan tempat lain saja. Karena di sini jumlahnya hanya 5 orang. Dia mewakili suasana pemberantasan korupsi. itu yang saya maksud dan suasana," katanya.

Oleh karena itu, menurutnya, sebelum sah menjadi pimpinan KPK, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah membuat janji resmi bahwa jika nanti dalam proses memimpin lembaga tersebut melakukan pelanggaran etika, maka secara otomatis harus mundur.

"Ketika pimpinan KPK itu deretannya ada deretan pelanggaran etika, terus dari mana kita bisa berharap ada suasana pemberantasan korupsi yang serius. Karena itu menurut saya harus tegaskan dari awal, tanda tangan depan publik, diakui, dinyatakan bila melakukan pelanggaran etika, maka mundur dari pimpinan KPK," jelas mantan Rektor Universitas Paramadina tersebut.

Anies menilai, KPK harus diselamatkan dari orang-orang yang tak memiliki etika. Menurutnya, jika lembaga antikorupsi ini dipimpin oleh sosok yang bermasalah, maka kepercayaan masyarakat pada KPK akan terus menurun.

"Kita harus menyelamatkan badannya ya itu KPK-nya. Bukan menyelamatkan orangnya. Orangnya bisa gonta-ganti, badannya nggak bisa. Dan itu harus dikatakan dari awal sehingga mereka yang memimpin KPK itu bukan hanya sekedar mengikuti prosedur untuk penanganan kasus, tapi dia ini adalah simbol dari usaha memerangi korupsi. Itu disadari oleh semuanya," katanya.

Oleh karenanya, Anies berharap, pada tahun 2024 ini, KPK mendapatkan pimpinan yang benar-benar serius dan memiliki niat untuk memberantas korupsi di Tanah Air.

"Kita pernah ada periode di mana pimpinan KPK itu dilihat sebagai ini orang-orang lempeng nih, gitu. Orang-orang yang punya rekam jejak yang serius, ketika menjalankan tugas juga menjalankan tugas dengan menjunjung tinggi etika, ada periode itu. Mudah-mudahan seleksi sekarang bisa menghasilkan orang-orang yang membawa kita pada suasana pemberantasan korupsi yang serius," ujarnya.

Diketahui, Panitia Seleksi (Pansel) KPK mengumumkan 10 nama calon pimpinan (capim) KPK yang telah lolos seleksi wawancara dan tes kesehatan. Sepuluh nama capim KPK ini telah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.

Capim KPK tersebut antara lain adalah
Agus Joko Pramono, Ahmad Alamsyah Saragih, Djoko Poerwanto, Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, Ida Budhiati, Johanis Tanak, Michael Rolandi Cesnanta Brata, Poengky Indarti dan Setyo Budiyanto.