YOGYAKARTA – Anies Baswedan berbagi cerita sejarah. Kali ini, ia menceritakan mengapa Patung Raden Saleh ada di Taman Margasatwa Ragunan, padahal Raden Saleh aslinya berdomisili di Cikini.
Menurut Anies, Raden Saleh sebenarnya tinggal di daerah Cikini dan memiliki lahan sekitar 10 hektare. Di lahan tersebut, Raden Saleh memelihara beberapa binatang seperti harimau dan hewan-hewan lainnya yang biasanya hidup di hutan liar.
Di masa akhir hidupnya, Raden Saleh menghibahkan seluruh kawasan itu kepada yayasan Belanda untuk dikelola. "Itulah yang menjadi cikal bakal kebun binatang di zaman Belanda," kata Anies dalam kanal YouTube miliknya, dikutip Rabu, 6 November 2024.
Anies menambahkan, setelah Indonesia merdeka, tempat itu tetap menjadi kebun binatang yang dikenal dengan nama Kebun Binatang Cikini. "Lalu, pada tahun 1966, Gubernur Ali Sadikin membangun Taman Margasatwa Ragunan dan memindahkan sekitar 110 binatang dari Kebun Binatang Cikini ke kawasan Ragunan ini," kata Anies.
Tanah yang sebelumnya digunakan untuk kebun binatang di Cikini kemudian dijadikan Taman Ismail Marzuki. "Jadi, itulah sebabnya mengapa ada patung Raden Saleh di Ragunan, karena kebun binatang di Jakarta ini berawal dari koleksi pribadi binatang milik Raden Saleh," jelasnya.
Pribadi Raden Saleh di Mata Anies Baswedan
Lebih lanjut, Anies menceritakan tentang sosok Raden Saleh. Menurutnya, Raden Saleh adalah pribadi yang unik. Lahir pada tahun 1811 di Semarang, sejak muda dia sudah dianggap jenius dalam melukis. "Karya-karya lukisan dan sketsanya sangat mirip dengan objek aslinya. Banyak orang menganggap dia memiliki bakat ajaib karena mampu melukis dengan sangat realistis," ungkapnya.
Kejeniusan dan keajaiban Raden Saleh pada masa itu juga sempat membuat Belanda khawatir. Pada saat itu, banyak orang datang kepadanya untuk berbagai keperluan, seperti meminta doa atau lainnya. "Akibatnya, Belanda merasa dia bisa menjadi figur yang berpengaruh. Ingat, pada masa itu Belanda masih dalam masa kolonialisme yang sangat represif," jelasnya.
Karena itu, kata Anies, Belanda memberinya beasiswa untuk pergi ke Eropa. Ada beberapa versi tentang alasan Belanda melakukan ini, salah satunya adalah agar pengaruh Raden Saleh tidak berkembang di Indonesia. Di Eropa, dia belajar melukis dari para seniman, tapi di sisi lain juga dijauhkan dari masyarakat Indonesia.
Anies mengatakan, Raden Saleh berangkat sekitar tahun 1829, pada periode di Jawa Tengah sedang berkecamuk Perang Diponegoro (1825-1830). Jadi, Belanda pada saat itu memang mencari cara untuk meredam perlawanan yang sedang berkembang.
Raden Saleh kemudian tinggal di Jerman dan Prancis, serta menikah dengan seorang perempuan Eropa. Jika tidak salah, Raden Saleh kembali ke Indonesia pada tahun 1851. Saat kembali, sepertinya dia memiliki simpati yang kuat terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro.
"Karena itulah, dia kemudian melukis salah satu karya terbesarnya, yaitu Penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang. Lukisan ini penuh simbol perlawanan," ungkapnya.
Lukisan itu dibuat pada sekitar tahun 1857, setelah ia pulang ke Indonesia. Dari mana dia mendapat inspirasi? Raden Saleh mendatangi dan menemui orang-orang yang mengenal Pangeran Diponegoro untuk mendalami karakter pangeran tersebut sebelum melukisnya. "Lukisan Pangeran Diponegoro yang kita kenal saat ini adalah versi Raden Saleh," ungkapnya.
Menurut Anies, lukisan itu pernah diserahkan kepada Ratu Belanda dan disimpan di Belanda, hingga akhirnya dikembalikan ke Indonesia pada akhir 1970-an dan sekarang disimpan di Istana Negara.
Jadi, kata Anies, Raden Saleh adalah seorang seniman dan pelukis yang sangat berpengaruh. Karya-karyanya banyak dikenal di Eropa dan Indonesia. Bahkan, lukisan pertarungan binatang buasnya adalah salah satu karya yang sangat hidup dan ikonik.
"Saya menceritakan ini di Taman Margasatwa Ragunan, yang memang berawal dari kebun binatang milik Raden Saleh di Cikini. Rumah Raden Saleh di Cikini kini menjadi Rumah Sakit PGI Cikini, sedangkan halamannya dijadikan Taman Ismail Marzuki," jelas Anies.
Semangat perjuangan Raden Saleh dalam bentuk seni, yang dituangkan dalam lukisan, tetap menginspirasi hingga kini. "Beliau meninggal pada tahun 1880 dan dimakamkan di Bogor. Saya pernah berziarah ke makamnya di kawasan Empang, Bogor. Itulah kisah yang menjadi konteks mengapa Ragunan ada seperti sekarang ini," papar Anies.