YOGYAKARTA– Demokrasi di era Jokowi oleh banyak kalangan dianggap mengalami penurunan. Banyak warga hingga tokoh yang bersuara kritis dibungkam, bahkan dipenjarakan.
Bagaimana dengan pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto? Bagaimana nasib kebebasan berbicara, berserikat, dan berkumpul, termasuk wacana pendirian wadah baru oleh Anies Baswedan sebagai kelompok kritis?
Tokoh gerakan di Yogyakarta, Chumaidi Syarif Romas, menyatakan bahwa negara yang menganut demokrasi seperti Indonesia harus menghargai perbedaan dan kritik. Menurutnya, perbedaan di Indonesia tidak bisa dihindari karena latar belakang masyarakat yang beragam. "Kita harus memaknai pentingnya keberagaman sebagai elemen perekat dalam masyarakat," ungkapnya saat dihubungi Senin, 28 Oktober 2024.
Ia menegaskan bahwa perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat seharusnya diterima sebagai rahmat, bukan sebagai alasan untuk menciptakan permusuhan. “Tuhan menciptakan perbedaan sebagai rahmat, bukan untuk menimbulkan perpecahan,” tuturnya.
Menurut Ketua Umum PB HMI periode 1976-1978 ini, Indonesia sebagai negara Pancasila memiliki pondasi yang berbeda dari konsep masyarakat Barat. Negara ini seharusnya tidak mengadopsi pendekatan yang menanamkan rasa curiga atau permusuhan terhadap pihak yang berbeda pandangan.
Sebaliknya, Pancasila menekankan pentingnya mengenali perbedaan demi menciptakan kebersamaan dan saling pengertian. “Jika kritik tidak diterima, itu adalah tanda bahwa rezim sedang menghadapi masalah,” ujar Chumaidi tegas.
Baginya, pemerintah yang demokratis harus selalu terbuka terhadap perbedaan pendapat, termasuk pandangan kritis, karena itulah esensi dari demokrasi yang sehat. Ia mengingatkan bahwa upaya untuk merangkul masyarakat tanpa ruang untuk kritik hanya akan menciptakan kedangkalan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyatnya.
Dia berharap agar pemerintahan Prabowo memberi ruang bagi warga untuk mengkritik kebijakan yang dikeluarkan. Pemerintah harus menghargai kebebasan berserikat, termasuk wadah baru yang akan dibentuk Anies Baswedan dan timnya. “Kalau berbeda pandangan saja tidak boleh, diskusi tidak boleh, itu sama saja dengan merangkul untuk melumpuhkan,” ujarnya.
Pensiunan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini juga mengingatkan bahwa perbedaan pandangan bukanlah ancaman, melainkan bagian alami dari dinamika masyarakat yang hidup dalam demokrasi.
Menurutnya, tindakan represif yang berupaya membungkam suara kritis adalah hal yang berbahaya, karena bertentangan dengan prinsip kebebasan berpikir yang seharusnya dijaga dan dihargai. “Ketika suara kritis dibungkam atau ditangkap hanya karena berbeda pandangan, itu adalah bentuk kekerasan dan pengekangan yang tidak bisa diterima,” tegas Chumaidi.