
Panjang Sesar Lembang sepanjang sekitar 29 kilometer yang membentang dari Padalarang di barat hingga Cilengkrang atau Jatinangor di timur, melalui daerah seperti Lembang dan utara Bandung Raya. (dok. screenshot peta Sesar Lembang BMKG)
JAKARTA - Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung menetapkan enam lokasi sebagai titik evakuasi apabila terjadi bencana gempa bumi akibat aktivitas Sesar Lembang. Langkah ini merupakan bagian dari strategi mitigasi dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi potensi bencana alam di wilayah perkotaan padat penduduk.
Adapun enam titik evakuasi tersebut meliputi:
-
Taman Tegalega
-
Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA)
-
Lapangan Gasibu
-
Alun-Alun Kota Bandung
-
Sasana Budaya Ganesha (Sabuga)
-
Lapangan Olahraga Arcamanik
“Dampak dari gempa tidak hanya bersifat fisik, tapi juga menyentuh aspek ekonomi dan sosial masyarakat. Oleh karena itu, arah kebijakan kami lebih menekankan pada upaya preventif dan peningkatan kesiapsiagaan, bukan semata responsif,” ujar Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, dalam keterangan pers di Balai Kota Bandung, Minggu (24/8).
Langkah ini juga merupakan implementasi dari Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 5 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Bencana, yang menempatkan mitigasi sebagai komponen utama dalam pengurangan risiko bencana.
Wakil Wali Kota menegaskan bahwa potensi gempa akibat aktivitas Sesar Lembang tidak dapat dianggap remeh, mengingat lokasinya berdekatan langsung dengan kawasan permukiman padat di Kota Bandung.
“Ancaman ini telah kami masukkan dalam program prioritas RPJMD Kota Bandung. Kami juga membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai lembaga teknis yang fokus pada penanggulangan bencana secara terintegrasi lintas sektor,” jelasnya.
Dalam rangka memperkuat kesiapan, Pemkot Bandung bekerja sama dengan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk melakukan pemetaan wilayah rawan gempa. Hasil pemetaan ini menjadi dasar perencanaan pembangunan kota dan peningkatan edukasi publik.
Tak hanya itu, edukasi dan simulasi evakuasi rutin dilakukan di lingkungan sekolah, kantor pemerintahan, dan pemukiman warga untuk menumbuhkan budaya tanggap bencana.
“Kesiapsiagaan bukan berarti menakut-nakuti. Ini adalah langkah bijak untuk melindungi diri dan keluarga. Mulailah dari hal kecil, seperti mengetahui jalur evakuasi dan menyiapkan tas siaga bencana di rumah,” pesan Erwin.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan komunitas dalam membangun ketangguhan kota terhadap bencana.