
Di tengah arus informasi yang serba cepat dan dinamika politik yang padat, Anies Baswedan memilih menyampaikan gagasan kepemimpinannya melalui medium yang lebih reflektif: sebuah buku. Bersama dua penulis muda, Dedi Wijaya dan Sarah Ardiwinata, Anies melu
JAKARTA - Di tengah arus informasi yang serba cepat dan dinamika politik yang padat, Anies Baswedan memilih menyampaikan gagasan kepemimpinannya melalui medium yang lebih reflektif: sebuah buku. Bersama dua penulis muda, Dedi Wijaya dan Sarah Ardiwinata, Anies meluncurkan Leadership XYZ: 3 Generasi Bicara Hidup dan Kepemimpinan, yang merupakan dialog lintas generasi tentang nilai-nilai kepemimpinan dalam kehidupan pribadi, sosial, dan kebangsaan.
Peluncuran buku ini digelar di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam format pertunjukan mini teater yang memadukan unsur musik, monolog, dan percakapan. Acara dibuka dengan tiga monolog personal dari masing-masing penulis:
-
Sarah Ardiwinata (Gen Z) berbagi kisah kehilangan sebagai awal perjalanan kepemimpinannya,
-
Dedi Wijaya (Gen Y) menyampaikan narasi tentang pentingnya menjembatani nilai antar generasi,
-
dan Anies Baswedan (Gen X) menutup dengan refleksi atas nilai-nilai kepemimpinan para pendiri bangsa yang berlandaskan gagasan dan integritas.
“Pemimpin sejati tidak lahir dari jabatan, tapi dari kepercayaan,” ujar Anies dalam monolognya.
“Lihatlah para pendiri republik ini. Mereka tidak mewariskan harta, mereka mewariskan visi. Di masa ketika popularitas sering menggantikan substansi, kita perlu kembali pada pemimpin yang berdiri di atas gagasan dan integritas.”
Anies menyebut kepemimpinan sebagai isu yang tidak pernah usang. Dengan latar belakang memimpin institusi pendidikan, gerakan sosial, dan pemerintahan, ia menekankan pentingnya menyampaikan nilai-nilai kepemimpinan dalam bahasa yang bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, terutama generasi muda.
“Kepemimpinan tidak harus dibicarakan dengan istilah yang rumit,” katanya.
“Justru lewat dialog dengan dua generasi muda, banyak prinsip dan pengalaman yang bisa disederhanakan menjadi alat praktis bagaimana membuat keputusan, menjaga kepercayaan, dan tetap tenang dalam tekanan.”
Dalam pandangannya, kepemimpinan sejati bukan semata soal posisi, melainkan kemampuan menumbuhkan kepercayaan agar orang lain bersedia mengikuti.
“You are a leader only if you have a follower. Dan agar ada yang mengikuti, pemimpin harus memberi arah, bukan hanya perintah; memberi makna, bukan hanya tugas.”
Leadership XYZ lahir dari interaksi tiga mantan ketua OSIS lintas generasi. Dedi Wijaya merupakan alumni program Indonesia Mengajar yang digagas Anies, sementara Sarah pertama kali bertemu Anies dalam forum publik “Desak Anies” saat masa kampanye 2024. Percakapan yang berawal dari ruang tanya-jawab tersebut berkembang menjadi diskusi panjang, dan akhirnya dituangkan dalam bentuk buku.
“Kepemimpinan bukan tentang siapa yang lebih dulu lahir, tapi siapa yang mau mendengar,” ujar Anies.
“Setiap generasi punya potongan kebenarannya masing-masing. Ketika disatukan, kita bisa melihat masa depan dengan lebih utuh.”
Bagi Dedi, kepemimpinan adalah soal keberanian menjembatani generasi.
“Kisah adalah jembatan yang membuat nilai tidak berhenti di satu masa, tapi terus menemukan bentuknya di setiap generasi,” tuturnya.
Sementara Sarah menambahkan, “Kami tumbuh di era yang serba cepat. Tapi lewat proses menulis lintas generasi, saya belajar bahwa kebijaksanaan tidak bisa di-fast-track. Ia hanya tumbuh lewat waktu dan pengalaman.”
Dalam sesi talkshow setelah peluncuran, Anies menyinggung tantangan literasi dan perhatian publik di era digital.
“Masalahnya bukan pada durasi perhatian, tapi pada kedalaman makna,” katanya.
“Anak muda hari ini bukan malas membaca, mereka hanya bosan dengan bacaan yang tak relevan. Literasi bukan hanya kemampuan membaca teks, tapi juga membaca dunia.”
Buku ini tidak hanya berisi refleksi, tetapi juga dilengkapi dengan toolkit dan latihan praktis yang dirancang untuk membantu pembaca mengembangkan keterampilan kepemimpinan, seperti pengambilan keputusan, membangun kepercayaan, dan manajemen emosi. Kontribusi tulisan tamu dari tokoh-tokoh seperti Thomas Lembong dan keluarga Prof. Emil Salim turut memperkaya perspektif lintas generasi dalam buku ini.
“Setiap zaman punya bahasanya sendiri,” tutup Anies.
“Kepemimpinan lintas generasi adalah tentang kesediaan mendengarkan agar nilai yang kita wariskan tetap hidup.”