
Ilustrasi | Foto: istimewa
JAKARTA - Bagaimana hukum kehamilan seorang wanita yang diceraikan atau ditinggal mati suaminya padahal ia tidak menikah lagi atau tidak melakukan hubungan seksual dengan pria lain?
Hal ini seperti sekarang ini terjadi pada kasus seorang influencer yang dikenal gemar berbagi kepada masyarakat di mana ia mengaku hamil setelah empat bulan ditinggal mati suaminya.
Jika anak yang dikandung setelah kematian suaminya itu kemudian lahir maka bagaimana status hukum ke-perdataan-nya? Di Indonesia, jika merujuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak ada aturan yang jelas untuk menjawab masalah itu. Pasal 102 KHI hanya diatur suami dapat mengingkari seorang anak yang dilahirkan dari istrinya dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Gugatan itu wajib diajukan dalam jangka waktu 180 hari (6 bulan) sesudah hari lahirnya atau 360 hari (1 tahun) sesudah putusnya perkawinan. Jika pengingkaran melebihi waktu yang ditentukan itu maka pengadilan tidak akan menerimanya.
Dengan kata lain kasus kehamilan seorang influencer tersebut tidak ada aturannya di Indonesia dan menjadi problem sendiri dalam status ke-perdataan anak yang dilahirkan kelak.
Indonesia tidak seperti negara Arab yang menerapkan dan mengadopsi hukum Islam kontemporer tentang batas maksimum kehamilan. Di banyak negara Arab, sudah ditetapkan batas maksimum usia kehamilan 1 tahun seperti yang dikemukakan oleh ulama bernama Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla X: 227.
Sekalipun batas usia maksimum kehamilan itu juga masih meninggalkan persoalan khusus jika kaitkan dengan kasus kehamilan pasca ditinggal mati suami.
Sementara kalau kita mengikuti ketentuan fiqh, batas usia kehamilan dapat mencapai masa waktu 4 tahun. Secara hukum fiqh jika mantan istri terbukti hamil dan melahirkan anak setelah perceraian atau kematian suaminya, maka anak tersebut dianggap anak suaminya yang sudah menceraikan atau meninggal dunia.
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali masa kehamilan dalam kasus semacam itu ialah empat tahun. Sementara itu, mazhab Hanafi berpendapat bahwa masa kehamilan maksimal adalah dua tahun.
Dalil yang dijadikan dasar para ulama mazhab ialah dalil "istishhab" yaitu menetapkan hukum sesuatu pada hukum asalnya sebelum ada dalil lain. Dalil asal yang dimaksud ialah hadits Rasulullah SAW
????? ?????? (???? ????)
Artinya: anak yang sah adalah menjadi milik orang yang memiliki tempat tidur.
Hanya dalil pokok ini yang menjelaskan kedudukan anak yang sah menurut hukum Islam. Oleh sebab itu ketika Imam Malik ditanya oleh Al-Walid bin Muslim tentang pernyataan Aisyah ra. yang diduga memiliki pendapat masa kehamilan maksimal adalah dua tahun, maka Imam Malik mengelaknya.
Dalam riwayat al-Daraquthni dituturkan tentang dialog Al-Walid bin Muslim dengan Imam Malik:
"Saya bertanya kepada Malik bin Anas tentang hadits Aisyah yang mengatakan bahwa wanita tidak boleh hamil lebih dari dua tahun. lalu Imam Malik berkata: Subhanallah, siapa yang mengatakan ini? Ini tetangga kami, istri Muhammad bin Ijlan, seorang wanita yang terpercaya, dan suaminya adalah orang yang terpercaya. Ia hamil tiga kali dalam dua belas tahun." (Sunan al-Daraquthni III: 322)
Kasus kehamilan istri Muhammad bin Ijlan sangat terkenal dalam sejarah Islam dengan sebutan "hamlat al-fil" (Kehamilan gajah). Masalah ini menyedot perhatian banyak kalangan termasuk para ulama mazhab sebab terjadi bukan hanya sekali persalinan.
Imam Malik dengan menggunakan dalil istishhab berkesimpulan jika ada seorang perempuan hamil tiga kali berturut-turut selama dua belas tahun maka berarti masa waktu per kasus kehamilan adalah 4 tahun. Pendapat Imam Malik ini didukung oleh Imam Syafi'i yang berkata "Muhammad bin Ijlan tetap dalam kandungan ibunya selama empat tahun." Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Wanita-wanita dari keluarga bin Ijlan bisa hamil hingga empat tahun."
Oleh karena itu, jika seorang wanita melahirkan setelah dua tahun, maka anak tersebut dianggap anak suaminya yang telah menceraikannya atau yang telah meninggal, selama ia tidak menikah dengan pria lain, dan ini adalah pendapat yang disepakati oleh para ulama dari berbagai mazhab. Pendapat ini juga dipegang teguh oleh Imam Zakariya al-Ansari dalam kitab "Asna al-Matlab III: 393".
Ia berkata: "Jika seorang wanita ditalak dengan talak bain (tercerai total) atau talak raj'i (talak yang masih bisa rujuk) atau pernikahannya dibatalkan, meskipun dengan li'an (sumpah), dan tidak ada pengakuan mengenai kehamilan, kemudian ia melahirkan dalam waktu kurang dari empat tahun setelah waktu yang mungkin terjadinya kehamilan sebelum perceraian atau pembatalan nikah, maka anak tersebut dianggap anak dari suaminya yang pertama, dan iddah-nya belum selesai jika ia belum menikah dengan orang lain atau menikah lagi, namun kehamilan tersebut tidak mungkin berasal dari suami kedua karena masih mungkin terjadi. Apakah ia mengakui bahwa iddah-nya telah selesai atau tidak, karena nasab adalah hak anak, sehingga tidak terputus hanya karena pengakuannya."
Dengan penjelasan ini, jika kasus kehamilan pasca kematian suami menerapkan pendapat ulama fiqh maka status keperdataan anak yang lahir tetap sah sebagai anak kandung ayah yang sudah meninggal dunia.