
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan, kendati kenaikan PPN menjadi 12% dikhususkan untuk barang mewah, faktanya kenaikan PPN ini berdampak luas pada kebutuhan rakyat banyak.
JAKARTA - Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan, kendati kenaikan PPN menjadi 12% dikhususkan untuk barang mewah, faktanya kenaikan PPN ini berdampak luas pada kebutuhan rakyat banyak.
"Faktanya, kenaikan tarif PPN ini tetap akan dikenakan pada sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah," ungkap ekonom tersebut dirilis Kompas.com.
Lantas, apa dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen per tahun depan?CELIOS memperkirakan, kenaikan PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 berisiko memicu inflasi yang tinggi pada tahun depan.
Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, membeberkan potensi kenaikan inflasi pada tahun depan dapat menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah.
"Kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp 101.880 per bulan, memperburuk kondisi ekonomi mereka," katanya.
Sementara itu, kelompok kelas menengah ke atas berpotensi mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 per bulan. Menurut Wahyudi, hal ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan.
Ia juga tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan pemerintah terkait semua barang pokok dikecualikan PPN. Wahyudi mengatakan, kebijakan pengecualian tersebut sebetulnya sudah ada sejak 2009.
"Kenyataannya, PPN tetap naik untuk hampir semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah," ujarnya.
Menurut Bhima, dampak berikutnya dari kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah harga peralatan elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor yang ikut naik.
Media Wahyudi berpendapat, pemerintah kurang tepat apabila membandingkan kenaikan PPN di Indonesia dengan negara lain seperti Kanada, China, atau Brasil yang menerapkan PPN lebih tinggi.
Menurutnya, PPN yang diterapkan di negara dengan pendapatan per kapita tinggi dan ekonomi yang stabil itu tidak memengaruhi daya beli masyarakat.
"Jadi, daya beli masyarakat yang kuat memungkinkan pemerintah untuk menetapkan tarif pajak konsumsi yang lebih besar tanpa mengurangi kesejahteraan ekonomi mereka," ucap Media Wahyudi.
Stabilitas ekonomi yang kuat ditandai dengan inflasi rendah dan konsumsi domestik yang kuat membuat penerapan PPN tinggi lebih efektif dan tidak terlalu membebani masyarakat atau menekan pertumbuhan ekonomi.
"Masalahnya, di Indonesia, ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah sedang terpukul," katanya. Jika ingin apple to apple, pemerintah seharusnya membandingkan PPN di Indonesia dengan negara ASEAN lainnya, di mana tarif PPN Indonesia justru menjadi yang tertinggi nomor dua se-ASEAN.
Bhima menambahkan, kenaikan PPN 12 persen tidak akan berkontribusi banyak terhadap penerimaan pajak. "Hal itu terjadi karena efek pelemahan konsumsi masyarakat, omset pelaku usaha akan mempengaruhi penerimaan pajak lain, seperti PPh badan, PPh 21, dan bea cukai,” ungkapnya
Sementara itu, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda dampak kenaikan tarif PPN per 2025 justru akan membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi negatif.
"Ketika tarif PPN di angka 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 5 persen-an. Setelah tarif meningkat menjadi 11 persen terjadi perlambatan dari 4,9 persen (2022) menjadi 4,8 persen (2023). Diprediksi tahun 2024 semakin melambat,” kata Huda, masih dari sumber yang sama.
Secara penerimaan negara, Huda melanjutkan, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan. Namun, dampak psikologisnya terhadap daya beli masyarakat dan dunia usaha justru berpotensi lebih besar.
Data pertumbuhan pengeluaran konsumen untuk Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) yang hanya naik 1,1 persen. Hal ini menunjukkan daya beli masyarakat masih lemah.
Terakhir, Huda menyampaikan, kenaikan tarif PPN 12 persen hanya akan memperburuk situasi, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.