
Megawati Soekarnoputri sedang ambyar. Dulu, ia juga pernah ditindas rezim Soeharto. Tapi waktu itu ia merasa sebagai pejuang yang terhormat. Hari ini martabatnya dilukai oleh orang yang bukan dari kelasnya. Mungkin seperti yang dialami ayahnya, Soekarno, ketika otoritasnya dilucuti Soeharto.
Dalam situasi ini, tak ada suatu apapun yang bisa menghibur Megawati. Maka, dari Vatikan ia terbang ke Mekah untuk minta maghfirah pada kekuatan transendental. La haula wala quwwata illa billah. Di depan Ka’bah ia berdoa semoga Allah masih peduli pada Indonesia untuk tidak menjadikannya yatim piatu.
Anies Baswedan juga kesepian. Setelah dipaksa kalah dalam kontestasi elektoral, pilpres dan pilkada, ia ditinggalkan teman-teman seperjuangan. Memang ia masih senyum seperti kemarin. Tapi kali ini senyumnya mengungkapkan realitas yang pahit. Bukan lantaran ia gagal meraih kekuasaan, tapi karena politik tak bekerja sebagaimana mestinya.
Alhasil Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Capres Pilpres 2024 Anies Baswedan dihempas arus balik sejarah yang aneh. Fenomena ini memerlukan kajian panjang para sejarawan untuk difahami. Bagaimana mungkin bangsa besar ini ditelikung penjahat amatir? Too good to be true.
Garis hidup (destiny) tiap orang hampir selalu merupakan kompromi kehendak bebas (free will) dan realitas yang dihadapi. Dan kesamaan nasib (takdir) mendorong orang untuk bekerja sama. Ini yang terjadi pada Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri (the fading leader) dan Anies Baswedan (the rising star).
Keduanya dipecundangi kejahatan terorganisir dalam persaingan politik semu. Dalam pilkada DKI Jakarta, ikhtiar Megawati untuk mengusung Anies digagalkan oleh pressure kekuatan modal dan politik. Sebagai alternatif, Megawati memproyeksikan Anies bersaing di Jawa Barat.
Anies menolak berdasarkan rationale politik dan perlawanan moral untuk membuyarkan harapan oligarki, penguasa lama, dan kaki tangannya. Perlawanan itu dilanjutkan dengan mendukung pasangan dukungan PDI-P. Dan dia berhasil. Berkat dukungan Anies, Pramono-Rano yang underdog keluar sebagai pemenang.
Ini hadiah Anies untuk Megawati saat kredibilitasnya sebagai pemimpin partai terbesar dipertanyakan. Bagaimana tidak, pasangan-pasangan yang didukung PDI-P ambyar di mana-mana, termasuk di Jawa Tengah, yang secara tradisional merupakan lumbung suara PDI-P. Megawati kaget, tapi terlambat. Kejahatan selalu mendahului kebaikan.
Sebagai ibu kota negara yang menjadi kiblat dan barometer politik nasional, kemenangan Pramono-Rano menyelamatkan wajah Megawati yang mulai keriput oleh kelelahan dan tragedi kehidupan. Apalagi Jakarta bukan basis konstituen PDI-P. Sementara PDI-P sendirian menghadapi keroyokan semua parpol parlemen.
Tidak mungkin kajian politik ilmiah atas fenomena di atas mengabaikan peran krusial Anies. Selama memimpin DKI Jakarta (2017-2022), Anies menorehkan prestasi yang diapresiasi semua komunitas Jakarta. Bahkan, keberhasilannya mengelola Jakarta saat pandemi covid-19 dipuji Sekjen PBB Antonio Guterres.
Kolaborasi
Kosa kata ini lengket pada diri Anies, seolah dialah pencipta diksi ini. Selama memimpin DKI, kolaborasi selalu menjadi pusat narasi Anies dalam menjelaskan kebijakan pembangunannya, yang selalu melibatkan banyak pihak. Kolaborasi, yang berarti gotong royong, pun disampaikan Megawati saat bertemu khusus dengan pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia, Paus Fransiskus, dan Presiden Scholas Occurentes Jose Maria del Corral di Vatikan, Roma, 4 Februari 2025.
Pada kesempatan itu, Megawati diminta menjadi penasihat Scholas Occurentes, gerakan pendidikan global yang didirikan Paus Fransiskus pada 2001. Tapi baru dihidupkan kembali pada 2023. Gerakan itu difokuskan pada pemberdayaan anak muda lintas negara dan agama dengan melibatkan tokoh dunia untuk mendukung misi pendidikan tanpa batas yang melampaui hambatan budaya dan geografis. Semboyannya: “Toward an Education Without Borders.”
Megawati menerima permohonan Jose Maria. Dewan Penasihat Scholas Occurentes yang akan dibentuk di Indonesia nantinya beranggotakan tokoh-tokoh nasional dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Tugas utamanya mengembangkan program yang bermanfaat bagi masyarakat.
Megawati dipilih Vatikan didasarkan pada kontribusinya terhadap bidang pendidikan nasional. Ketika memimpin Indonesia sebagai presiden, Megawati memberi dasar hukum bagi lahirnya UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Secara institusional, UU Sisdiknas memberi dasar lebih kuat bagi profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan dengan standar kompetensi yang diperlukan, termasuk standar pengajian. Dalam hal ini, UU Sisdiknas memberi legitimasi pada amanat konstitusi tentang 20 persen dana APBN untuk pendidikan.
Pertimbangan lain, mungkin didasarkan pada posisi unik Megawati dalam perpolitikan nasional. PDI-P adalah fusi PNI, Parkindo, Partai Katolik, dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Semua ini, dan dengan orientasi PDI-P memberdayakan wong cilik, Megawati dipandang sosok paling relevan memimpin Scholas Occurentes.
Misi Scholas Occurentes beririsan dengan Gerakan Indonesia Mengajar yang dirintis Anies sejak 2009. Anies mengirim anak-anak muda terpelajar ke berbagai pelosok negeri dari Sabang sampai Merauke untuk memberdayakan anak-anak Indonesia lintas agama dan budaya yang termarginalkan melalui pendidikan.
Melihat keterlibatan Anies dalam dunia pendididkan di tanah air – ia juga pernah menjabat Rektor Universitas Paramadina dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan – rasanya mustahil Megawati tak merekrutnya kedalam Dewan Penasihat Scholas Occurances. Pikiran, pengalaman, dan ketokohan Anies tentu sangat dibutuhkan.
Kolaborasi! Kata ini akan menjadi kata kunci yang menyertai semua narasi terkait masa depan umat manusia, tak terkecuali di Indonesia. Pemikir kaliber dunia seperti Leonardi da Vinci tak bakal lahir lagi. Disiplin ilmu pengetahuan terus berbiak semakin banyak melampaui kapasitas otak manusia untuk menampungnya.
Dus, tokoh dan ilmuan harus berkolaborasi untuk merajut dunia yang makin atomik agar bisa difahami. Sementara, ketika dunia sudah memasuki era otak imitasi (artificial intelligence) dan teknologi digital, miliaran manusia di Dunia Selatan (Global South) masih “buta huruf”, miskin, dan teralienasi.
Maka memberdayakan kaum tertindas merupakan ikhtiar untuk menciptakan dunia yang lebih adil. Manusia hanya mungkin menjadi manusia kalau ia memperoleh hak-hak dasar yang menjamin kelangsungan hidupnya secara bermartabat. Exploitation de lome par lome bukan hanya tidak bermoral, tapi juga berpotensi bunuh diri massal dunia di masa dekat mendatang.
Perubahan Dunia
Indonesia dan Vatikan telah menjalin hubungan diplomatik sejak tahun-tahun awal keremdekaan Indonesia. Presiden Pertama RI Soekarno tiga kali mengunjungi Vatikan untuk menerima penghargaan atas kontribusinya dalam kerukunan umat beragama di tanah air.
Kontribusi Anies dalam aspek ini pun sungguh luar biasa meskipun dalam lingkup yang lebih kecil. Di masa kepemimpinannya di DKI, ia memfasilitasi pembangunan rumah ibadah semua agama. Bahkan, melindungi dan memberi akses upacara keagamaan kelompok minoritas di ruang publik.
Sebagaimana Soekarno, dan diulang Megawati, Anies memperlakukan semua agama secara setara. Ketika berdiskusi dengan Megawati, Paus Fransiskus dan Jose Maria mengungkapkan kekaguman mereka pada nilai-nilai Pancasila yang, tanpa niat berlebihan, harus kita akui sebagai masterpiece Soekarno.
Bagaimanapun, gerakan pendidikan global yang diluncurkan Vatikan tak bisa dilepaskan dari kian kondusifnya kerja sama Dunia Katolik dan Dunia Islam Sunni. Pada 4 Februari 2019, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Mesir Ahmed Al Tayeb menandatangani “Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama”, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Isi dokumen itu, di antaranya, mengakui Tuhan menciptakan manusia sama dalam hak, tugas, dan martabat, dan memanggil mereka untuk hidup bersama sebagai saudara, serta memperkenalkan nilai-nilai kebaikan, cinta, dan perdamaian. Atas nama fakir miskin dan perpecahan oleh sistem keuntungan tak terkendali, Al-Azhar al-Sharif dan umat Islam di Timur dan Barat, bersama Gereja Katolik dan umat Katolik di Timur dan Barat, menyatakan penerapan budaya dialog.
Atas dasar tanggung jawab keagamaan dan moral, umat Katolik dan umat Islam menyerukan kepada para pemimpin dan perancang kebijakan internasional serta ekonomi dunia untuk bekerja keras menghadirkan budaya hidup berdampingan secara damai, menghentikan pertumpahan darah, kerusakan lingkungan, dan dekadensi moral serta budaya dunia saat ini.
Mereka mengajak para cendekiawan, filosof, tokoh agama, seniman, pekerja media, serta budayawan di seluruh dunia untuk menemukan kembali nilai-nilai perdamaian, keadilan, kebaikan, keindahan, dan persaudaraan manusia, guna meneguhkan pentingnya nilai-nilai itu sebagai jangkar keselamatan bagi semua.
Deklarasi ini, berangkat dari pertimbangan mendalam atas realitas dunia kontemporer. Sembari menghargai keberhasilannya, deklarasi itu mengakui sebab-sebab terjadinya krisis dunia modern. Di antaranya, hilangnya kepekaan hati nurani, menjauhnya nilai-nilai agama, merajalelanya individualisme disertai filsafat materialistis, dan memperkenalkan nilai-nilai duniawi dan material sebagai pengganti prinsip-prinsip tertinggi dan transendental.
Sambil mengakui hal positif yang diambil peradaban modern di bidang sains, teknologi, kedokteran, industri, dan kesejahteraan, terutama di negara-negara maju, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Ahmed Tayeb menekankan adanya kemerosotan moral dunia. Ini berkontribusi pada perasaan frustrasi, keterasingan, dan keputusasaan umum.
Deklarasi ini menggambarkan keprihatinan mendalam kedua kubu yang mendorong mereka menguburkan sejarah kelam hubungan keduanya sejak berabad-abad lalu untuk berkolaborasi menyelamatkan dunia. Sekali lagi, dalam mengantisipasi kemungkinan takdir buruk bersama yang dipersepsi sedang mendekat, kolaborasi merupakan keniscayaan untuk menyelamatkan dunia.
Dalam konteks kerumitan hidup yang kian kompleks, sementara sains dan teknologi tak dapat menjawabnya, kembali ke nilai-nilai transendental merupakan keniscayaan. Memang sains hanya bisa menjawab pertanyaan “how”, tapi tak mampu menjelaskan pertanyaan “why”. Hanya agamalah yang membuat hidup dapat dimengerti dan karena itu membangkitkan optimisme manusia.
Dunia telah berubah. Akselerasinya melampaui daya imaginasi manusia. Ideologi-ideologi lama, yang membentuk tatanan internasional, tak lagi relevan untuk menjawab persoalan lokal, nasional, regional, dan global. Ideologi-ideologi itu bahkan menjadi sumber pertikaian antarbangsa.
Sementara, kemajuan sains dan teknologi – yang dulu dipercaya akan menyelesaikan dan memudahkan hidup manusia -- tak membuat manusia makin beradab, sejahtera, dan bahagia. Sebaliknya, iptek melahirkan “penyakit” baru yang obatnya belum ditemukan.
Dengan iptek manusia menjadi jumawa bahwa alam bisa ditaklukkan, mengekspolitasi sumber dayanya nyaris tanpa batas sambil mengejek kearifan lokal. Akibatnya, bencana alam menghampiri semua bangsa dengan skala yang mengerikan akibat perubahan iklim.
Untuk menyelamatkan bumi dan kehidupan, manusia harus kembali ke fitrahnya sebagai zon politicon: hasrat bersatu dengan manusia lain dan alam. Bumi Manusia -- yang semakin menua dan rapuh -- meniscayakan kolaborasi semua penghuninya untuk menyelamatkannya dari kehancuran.
Semua orang di dunia harus menjadi Anak Semua Bangsa untuk menjadi lebih arif dalam menghadapi tantangan bersama. Tak ada keunggulan suatu ras atas ras lainnya. Memang identitas primordialisme tak dapat ditanggalkan dari setiap pribadi dari manapun asalnya, tapi hal itu harus ditempatkan sebagai bagian dari identitas global yang inklusif.
Ideologi yang partikuler, kemajuan peradaban berbasis materialisme satu bangsa atas bangsa lainnya, optimisme banal bahwa sains dapat memecahkan semua permasalahan manusia, pemanfaatan teknologi yang ceroboh, dan peminggiran aspek spiritual dalam kehidupan manusia, telah membawa kita pada situasi apokaliptik.
Perang merambah ke mana-mana untuk memperebutkan supremasi, pasar, dan sumber daya alam, penyalahgunaan otak imitasi untuk melenyapkan eksistensi bangsa lain sebagaimana kita saksikan di Gaza. Sesungguhnya manusia tidak sedang melangkah ke “alam terang”, melainkan kegelapan baru.
Globalisasi melahirkan gaya hidup YOLO (you only live once) berbasis konsumerisme – keyakinan bahwa beli dan jual produk merupakan hal terpenting dalam kehidupan – yang bukan hanya membuat wawasan manusia menjadi sumir, tapi juga menganiaya jiwa. Yang menyedihkan, fenomena ini melahirkan populisme – faham yang berbau rasialisme – yang dipromposikan para pemimpin sayap kanan guna mempertahankan supermasi peradaban mereka.
Kolaborasi Kebangsaan Megawati-Anies
Kolaborasi Megawati-Anies dalam dunia pendidikan merupakan hal krusial menghadapi Inpres Efisiensi Anggaran pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Wapres Gibran Rakabuming Raka yang memotong anggaran pendidikan secara signifikan. Pemangkasan anggaran menyasar tunjangan dosen non-PNS, berbagai jenis bantuan sosial beasiswa, hingga layanan publik di perguruan tinggi. Ini dapat mengakibatkan naiknya biaya kuliah.
Kebijakan ini memastikan sejumlah program yang berdampak ke masyarakat akan terganggu. Misalnya, pendidikan profesi guru, peningkatan pendidikan vokasi, perlindungan bahasa daerah, serta peningkatan penjaminan mutu, termasuk akreditasi dan pelaksanaan tes kemampuan akademis.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI-P, Sofyan Tan, mengatakan, pemotongan anggaran pendidikan ini membuat Indonesia cemas menghadapi tahun 2045. PDI-P mendukung supaya anggaran yang berdampak langsung pada mahasiswa dan dosen tidak dipotong karena melanggar UU Sisdiknas yang mewajibkan pemerintah mengalokasikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.
Kebijakan ini bertentangan dengan cita-cita Prabowo membawa bangsa ini ke gerbang Indonesia emas. Tidak ada bangsa yang maju tanpa pendidikan berkualitas yang menjangkau semua warga. Fakta ini menambah krusialnya kolaborasi Megawati-Anies. Visi Gerakan Indonesia Mengajar yang berpijak wawasan sosial-budaya lokal dan visi Scholas Occurentes berkerangka global dapat disinkronkan untuk menghasilkan wawasan global berakar lokal.
Kolaborasi Megawati-Anies di bidang politik pun perlu dilanjutkan untuk masa yang jauh ke depan. Setelah MK menghapus ambang batas pencalonan presiden menjadi nol persen, terbuka kemungkinan Anies akan mendirikan partai. Apapun corak ideologinya nanti, orietntasinya pasti untuk kebaikan bangsa.
Sejak 2017 ketika berkontestasi di pilgub Jakarta, Anies diframing para buzzer pendukung Ahok sebagai “tokoh Islam yang berbahaya”. Disinformasi itu, seperti Anies akan mengadopsi agenda FPI dan akan membawa Indonesia ke jurang perang saudara seperti di Suriah, dipropagandakan sepanjang pemerintahan Anies.
Padahal, para tokoh agama minoritas menangis ketika masa tugas Anies selesai. Memang tidak ada gubernur DKI yang lebih bersikap adil dalam memperlakukan mereka ketimbang Anies. Dalam pilpres 2024 propaganda itu redup karena Jokowi sebagai pemimpin buzzer dan influencers bayaran mencampuri pilpres demi kepentingan dinasti. Mereka tersadar ditipu Jokowi.
Kalau kolaborasi bidang pendidikan Megawati-Anies bertujuan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kolaborasi politik bertujuan menyelamatkan negara ke sistem demokrasi, tatanan berbasis hukum, dan menyatukan kembali masyarakat yang terbelah.
Kolaborasi mereka dalam pilkada Jakarta telah berhasil memitigasi kerusakan negara yang lebih parah. Jakarta adalah miniatur Indonesia yang mana penguasaannya oleh duet kekuatan penguasa dan oligarki akan menyempurnakan kehancuran NKRI yang kemerdekaannya diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Kemenangan Megawati dan Anies di Jakarta menghadirkan optimisme bahwa akal sehat rakyat Indonesia belum amblas. Sekaligus membawa pesan kuat bahwa rasionalitas, kerja keras, konsistensi, dan kejujuran, tak akan mengkhianati hasil.
Melihat pemerintahan Prabowo yang tidak meyakinkan, tak perlu menunggu lima tahun untuk dimulainya kolaborasi para tokoh untuk mengantisipasi datangnya keadaan yang lebih buruk. Kolaborasi Megawati-Anies hanyalah keberlanjutan kerja sama Soekarno dan A.R. Baswedan (kakek Anies) dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan RI yang kini sedang menghadapi ujian berat.
Tangsel, 17 Februari 2025
Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)