
Foto: istimewa
JAKARTA - Gagasan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengirim sejumlah pelajar yang dicap "nakal" ke barak militer untuk menjalani pendidikan karakter selama 14 hari dipertanyakan sejumlah praktisi hukum dan pemerhati sosial lantaran tidak ada dasar hukumnya, tidak ada kajiannya, dan tidak ada panduan kurikulumnya.
Alih-alih menjadi tidak "nakal", anak-anak itu justru dikhawatirkan mempelajari nilai-nilai yang tidak cocok dengan usianya, semakin agresif, dan bahkan kehilangan daya kreativitas.
Mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Erwin Partogi menegaskan, barak militer bukan solusi terbaik mengatasi kenakalan anak-anak dan remaja.
"Sesuai ketentuan undang-undang, barak militer diproyeksikan untuk pendidikan strategi pertahanan dan ketertiban negara, termasuk kemungkinan berperang. Sangat tidak cocok bila barak militer diterapkan bagi penanganan kenakalan anak-anak dan remaja," tegasnya kepada Jakartadaily, Rabu, 7 Mei 2025.
Karena itu, Edwin menghimbau agar gubernur lain di seluruh Indonesia tidak meniru gagasan Dedy Mulyadi, yang telah digulirkan menjadi Program Penanggulangan Kenakalan Anak-Anak dan Remaja di wilayah Jawa Barat.
Sebab, pemicu utamanya tidak melulu bersumber dari individu pelakunya. Boleh jadi pemicu utama kenakalan anak-anak dan remaja berasal dari sistem pendidikan buruk, latar belakang keluarga (broken home), dan lingkungan sosial (kemiskinan terstruktur).
Untuk itu, Gubernur Jawa Barat terlebih dahulu harus melakukan kajian menyeluruh dari hulu ke hilir. Caranya, libatkan semua stakeholders terkait untuk menemukan solusi tepat penanganan masalah kenakalan anak-anak dan remaja.
"Jadi tidak asal sebut dan populer, seperti dilakukan Dedy Mulyadi," tegasnya.
Menurut Edwin, pendidikan anak "nakal" di barak militer berpotensi bertentangan dengan hak-hak anak yang dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014 sebagai perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002), tergantung pada bagaimana pendekatan tersebut dijalankan.
Salah satu prinsip utama dalam UU Perlindungan Anak adalah hak atas perlindungan dari kekerasan dan perlakuan buruk.
Pasal 13 dan 54 menyatakan bahwa anak berhak untuk dilindungi dari kekerasan fisik, psikis, dan perlakuan tidak manusiawi. Masalahnya, Jika pendidikan militer dilakukan dengan pendekatan keras, hukuman fisik, atau tekanan mental, maka bisa melanggar prinsip tersebut.
Kemudian, pasal 9 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal. Sementara lingkungan barak militer bukan tempat yang dirancang untuk perkembangan psikologis dan sosial anak. Jika tidak didampingi tenaga ahli, justru bisa menghambat perkembangan emosi dan sosial.
"Jika barak militer digunakan sebagai tempat pendidikan untuk mendisiplinkan anak-anak 'nakal' tanpa pendekatan yang ramah, tanpa pendampingan psikolog serta abai terhadap hak-hak anak, maka kebijakan itu bisa melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak," pungkas Edwin.