KPK Minta Keterangan Rajiv Soal Dugaan Dana CSR BI-OJK
Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, Rajiv | Foto: ist

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, Rajiv, sebagai saksi dalam penyidikan dugaan korupsi dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan, pemanggilan Rajiv merupakan penjadwalan ulang setelah sebelumnya tidak hadir pada Senin (27/10). 

“Hari ini, Kamis (30/10), penyidik juga melakukan pemeriksaan terhadap saksi saudara RAJ (Rajiv). Pemeriksaan dilakukan di Kantor Kepolisian Resor Cirebon Kota,” kata Budi.

Menurut dia, penyidik mendalami hubungan Rajiv dengan dua tersangka yang lebih dulu ditetapkan, yakni Satori dan Heri Gunawan, serta pengetahuannya mengenai program sosial di BI. 

“Dalam permintaan keterangan kali ini, penyidik mendalami terkait perkenalan saudara RAJ dengan para tersangka dan pengetahuannya tentang program sosial di Bank Indonesia,” ujarnya.

Sebelumnya, Rajiv sempat absen dari pemeriksaan yang dijadwalkan awal pekan.

“Hari ini tadi kami cek yang bersangkutan (Rajiv) tidak hadir,” kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

KPK masih menunggu konfirmasi dari pihak Rajiv mengenai alasan ketidakhadiran tersebut. 

“Nanti kami akan cek apakah ada surat untuk penjadwalan ulang atau seperti apa yang menjadi alasan ketidakhadiran pada jadwal pemeriksaan hari ini,” ucapnya.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua anggota DPR RI, Heri Gunawan dan Satori, sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan dana CSR BI–OJK periode 2020–2023. 

Keduanya diduga menggunakan yayasan yang mereka kelola untuk menerima dana bantuan dari mitra kerja Komisi XI DPR RI, yakni Bank Indonesia dan OJK.

Namun, kegiatan sosial yang dijanjikan dalam proposal permohonan bantuan itu diduga tidak pernah dilaksanakan. 

Atas perbuatannya, keduanya disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Selain itu, mereka juga dijerat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.