Membaca Langkah Anies di Balik Ormas Baru

Dalam sebuah surat kepada sejawatnya, Rabindranath Tagore menulis, "Kita menanam pohon bukan hanya untuk buahnya, tetapi untuk keteduhan yang akan dinikmati oleh generasi yang tak pernah kita temui."

Barangkali, kutipan ini menjadi renungan yang relevan ketika seorang tokoh seperti Anies Baswedan melangkah ke ruang sosial-politik dengan membentuk sebuah organisasi masyarakat (ormas). Seperti pohon yang baru ditanam, ormas ini tidak menjadi alat politik praktis, tetapi menawarkan sebuah janji: keteduhan yang nyata dan berjangka panjang, meskipun masa panennya belum tentu disaksikan oleh tangan yang menanamnya.

Keputusan Anies untuk meluncurkan ormas sebelum 2025, setelah pertimbangan panjang antara membentuk partai politik atau ormas, adalah sebuah langkah yang penuh makna. Dalam dunia politik Indonesia yang penuh hiruk-pikuk, memilih jalur ormas alih-alih partai adalah semacam deklarasi sunyi: bahwa perubahan besar tidak harus selalu dimulai dengan hierarki. Tetapi ia dapat diwujudkan melalui jaringan kerja konkret berbasis kegiatan sosial dan kemanusiaan.

Ormas ini, sebagaimana diungkapkan oleh Sahrin Hamid, Juru Bicara Anies, akan berorientasi pada karya nyata, bertumpu pada aksi sosial, tidak berbasis struktural hierarkis. Ini adalah janji yang menarik. Menarik terutama karena janji ini digaungkan di negara dengan 270 juta penduduk, di mana 25 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2023). Jika ormas ini mampu menjalankan program sosial secara konkret, harapan masyarakat akan lebih dari sekadar janji politik yang berakhir di podium kampanye.

Soal ormas, Indonesia sesungguhnya memiliki modal sosial yang besar. Menurut laporan Gallup Global Civic Engagement 2023, Indonesia adalah negara dengan tingkat partisipasi relawan tertinggi di dunia, di mana 69% warga negara aktif menjadi sukarelawan. Tantangannya adalah menjaga keberlanjutan gerakan tanpa kehilangan fokus pada aksi nyata.

Di dunia internasional, organisasi masyarakat sering menjadi agen perubahan yang signifikan. Organisasi nirlaba Habitat for Humanity yang kantor pusat administratifnya di Atlanta, Georgia, AS, misalnya, adalah sebuah organisasi global yang membantu menyediakan hunian layak bagi keluarga kurang mampu di lebih dari 70 negara. Hingga saat ini, mereka telah membangun atau memperbaiki lebih dari 39 juta rumah sejak berdiri pada 1976.

Di Afrika Selatan, Nelson Mandela memanfaatkan African National Congress (ANC) untuk melawan apartheid dan membangun landasan masyarakat yang lebih adil. Bahkan organisasi seperti Sierra Club di Amerika Serikat telah berhasil memobilisasi jutaan relawan untuk aksi lingkungan tanpa menjadi alat politik praktis.

Harapan Masyarakat

Anies dikenal memiliki basis relawan yang solid. Mulai dari Pilgub DKI Jakarta 2017 hingga Pilpres 2024, basis ini kian meluas dan menguat. Jika semua relawan ini bergabung dan bekerja nyata, potensi dampaknya akan signifikan.

Di balik kekuatan selalu ada titipan harapan dari masyarakat bahwa ormas yang dibangun tidak menjadi sekadar forum nostalgia atau alat politik terselubung. Karena di Indonesia, kita tidak bisa menutup mata, ormas tidak jarang menjadi ruang abu-abu, terjebak antara harapan dan alat kekuasaan.

Lebih dari itu, masyarakat menginginkan solusi nyata atas berbagai masalah sosial, seperti akses pendidikan dan layanan kesehatan yang merata.

Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa pada 2023, terdapat lebih dari 1,7 juta anak usia sekolah yang putus sekolah. Sementara itu, akses layanan kesehatan di daerah terpencil masih jauh dari memadai, dengan rasio dokter hanya 0,6 per 1.000 penduduk (WHO, 2023). Jika ormas ini mampu menggerakkan relawan untuk mengatasi masalah-masalah ini, maka ia akan menjadi oase di tengah padang tandus janji politik.

Dalam satu wawancaranya, Anies pernah berkata, "Perubahan besar dimulai dari gagasan kecil yang dikerjakan bersama." Pernyataan ini seakan menjadi fondasi dari ormas yang ingin ia bangun. Namun, gagasan tanpa struktur yang kokoh bisa saja lenyap dalam pusaran pragmatisme politik.

Dari Muhammadiyah hingga Nahdlatul Ulama, sejarah mencatat bahwa ormas-ormas besar lahir dari kebutuhan sosial yang nyata, bukan dari ambisi politik sesaat. Maka, tantangan besar bagi Anies adalah bagaimana menjadikan langkah ini sebagai sebuah gerakan yang berkelanjutan.

Jika organisasi ini benar-benar didesain sebagai ruang aspirasi, ia harus tahan terhadap badai. Badai kepentingan, badai ekspektasi, dan badai skeptisisme. Sebab, di tengah lanskap politik yang kerap mengecewakan, ormas ini seperti benih harapan baru di padang tandus. Tetapi, benih hanya tumbuh menjadi pohon ketika dirawat dengan kesabaran, komitmen, dan kejujuran.

Maka, Tagore benar. Ketika seseorang menanam pohon, sesungguhnya ia sedang menanam harapan bagi mereka yang belum lahir. Jika ormas ini benar-benar tumbuh seperti yang diharapkan, Anies dan para relawannya barangkali tidak hanya menanam sebuah pohon, tetapi sebuah hutan: teduh, menenangkan, dan menghidupi.

Seperti yang dikatakan Eleanor Roosevelt, "Masa depan adalah milik mereka yang percaya pada keindahan impiannya." Dan impian ini harus kita bangun bersama, dengan kejujuran, kerja keras, dan keberanian untuk melampaui ambisi dan kepentingan politik semata.?

Bogor, 15 Desember 2024

Dikdik Sadikin, Kolumnis