
Muhammad Athaya Helmi Nasution | Foto: ist
JAKARTA - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI angkat bicara terkait meninggalnya Muhammad Athaya Helmi Nasution (18), mahasiswa asal Indonesia di Belanda, saat mendampingi kunjungan pejabat RI ke Wina, Austria, pada akhir Agustus 2025.
Direktur Pelindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha, menyampaikan bahwa KBRI Wina telah berkoordinasi dengan otoritas setempat dan mendapatkan informasi awal dari hasil otopsi bahwa penyebab kematian Athaya diduga karena kejang (suspected seizure).
“KBRI Wina juga telah berkoordinasi dengan keluarga almarhum dan memberikan bantuan kekonsuleran, termasuk pengurusan dokumen, pemulasaran jenazah, dan koordinasi dengan komunitas Islam Indonesia di Wina,” kata Judha dalam pernyataan tertulis, Selasa (9/9).
Athaya merupakan mahasiswa Universitas Hanze, Groningen, Belanda. Ia meninggal dunia pada 27 Agustus 2025 dan jenazahnya telah dipulangkan ke Indonesia pada 4 September atas permintaan keluarga.
Judha menjelaskan bahwa Athaya saat itu tengah bertugas sebagai pendamping delegasi RI dalam pertemuan dengan otoritas Austria. Penugasan tersebut, lanjutnya, sepenuhnya dikelola oleh pihak event organizer (EO) dari Indonesia, yang melibatkan mahasiswa sebagai liaison officer (LO).
Ucapan duka juga disampaikan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda, melalui unggahan resmi di akun Instagram @ppibelanda. Mereka menyatakan kehilangan atas wafatnya Athaya, anggota PPI Groningen, yang mendampingi kunjungan tertutup pejabat publik termasuk DPR, OJK, dan Bank Indonesia pada 25–27 Agustus di Wina.
Dalam pernyataannya, PPI Belanda mengungkap bahwa Athaya mengalami kejang diduga akibat heat stroke, kelelahan ekstrem, dehidrasi, serta kurang asupan nutrisi. Kondisi itu memicu ketidakseimbangan elektrolit dan hipoglikemia yang berujung pada stroke.
PPI menyesalkan tidak adanya permintaan maaf maupun tanggung jawab dari pihak EO atau koordinator LO atas insiden tersebut. Bahkan, disebutkan bahwa tidak ada perwakilan EO atau pejabat publik yang hadir untuk mendampingi keluarga Athaya usai kejadian.
Lebih lanjut, PPI Belanda menilai terdapat indikasi kurangnya transparansi terkait kegiatan yang dijalankan Athaya di Wina, termasuk siapa saja pejabat yang ia dampingi.
PPI Belanda secara tegas menuntut transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban dari EO dan koordinator LO. Mereka juga mendesak KBRI Den Haag serta KBRI di negara lain untuk tidak lagi melibatkan mahasiswa dalam kegiatan pejabat publik tanpa koordinasi resmi dengan PPI setempat.