Prolog: Menyelamatkan Sebuah Cerita
Natal selalu menjadi momen refleksi—waktu untuk mengingat kembali perjalanan, mensyukuri momen-momen kecil, dan membayangkan langkah ke depan. Pada Natal 2019, saya terlibat dalam sebuah pengalaman yang tidak hanya merayakan semangat Natal, tetapi juga membawa pesan keberagaman dan kolaborasi di tengah dinamika sosial dan politik Jakarta.
Pengalaman itu, yang pada awalnya terasa seperti sebuah eksperimen kecil, menjadi sesuatu yang lebih besar dari yang pernah saya bayangkan. Dalam semangat kebersamaan, kami menghadirkan Christmas Carol di ruang publik dan mendirikan pohon Natal pertama di ruang terbuka Jakarta. Semua dilakukan tanpa anggaran dan dalam waktu yang sangat terbatas—sepenuhnya bergantung pada kolaborasi warga dan pemerintah.
Beberapa tahun kemudian, pada Natal 2022, saya menuliskan pengalaman itu dalam sebuah thread di Twitter. Thread tersebut menjadi penyelamat, terutama ketika beberapa bulan kemudian, ponsel saya hilang, membawa pergi semua foto, video, dan dokumentasi lainnya. Jika bukan karena thread itu, cerita ini mungkin sudah hilang.
Ketika seorang teman meminta saya untuk menuliskan ulang cerita tersebut, saya merasa ini adalah kesempatan untuk merenungkan kembali apa yang membuat pengalaman itu begitu bermakna—tentang semangat kolaborasi, pentingnya keberagaman, dan bagaimana kepemimpinan bisa menciptakan ruang bagi harmoni.
Awal dari Sebuah Gagasan
Desember 2019 adalah bulan yang sibuk. Kami sedang giat mempersiapkan peluncuran Plus Jakarta, branding baru yang dirancang untuk menghidupkan identitas kota melalui kolaborasi. Branding ini dirancang untuk melampaui pembangunan fisik dan menyentuh aspek yang lebih dalam: bagaimana kota ini bisa menjadi ruang bagi partisipasi warganya.
Meskipun peluncuran resmi branding ini direncanakan pada malam tahun baru, kami merasa Desember adalah waktu yang tepat untuk memulai. Sebagai seorang Kristiani, saya mulai memikirkan bagaimana Natal bisa menjadi momen yang merangkul nilai-nilai tersebut. Apa yang bisa kita lakukan untuk membawa semangat Natal ke ruang publik Jakarta?
Inspirasi datang dari film-film Natal yang sering saya tonton sejak kecil—Home Alone, Love Actually, dan kisah-kisah lainnya tentang kehangatan paduan suara yang menyanyikan lagu Natal di jalanan. Saya ingin membawa keajaiban itu ke Jakarta. Namun, alih-alih salju dan lampu-lampu kota di musim dingin, kami ingin menciptakan keajaiban dalam konteks kota tropis yang hangat dan dinamis.
Diskusi dimulai di grup WhatsApp kecil yang melibatkan beberapa teman Kristiani di tim gubernur. Dari diskusi itu, dua ide besar muncul: menghadirkan Christmas Carol di ruang publik dan mendirikan pohon Natal di lokasi strategis. Namun, dengan hanya beberapa minggu sebelum Natal, tantangan terbesar kami adalah waktu yang terbatas dan ketiadaan anggaran.
Christmas Carol: Membangun Harmoni di Ruang Publik
Christmas Carol direncanakan berlangsung selama tiga hari di tujuh lokasi: Bundaran HI, Dukuh Atas, Terowongan Kendal, MRT Blok M, FX Sudirman, dan beberapa titik lainnya. Kami ingin melibatkan sebanyak mungkin komunitas Kristiani di Jakarta—dari gereja, sekolah, hingga kelompok paduan suara.
ASN Kristiani, yang biasanya hanya terlibat dalam perayaan internal Pemprov DKI, diundang untuk menjadi panitia teknis. Mereka menerima tugas ini dengan penuh semangat, merasa ini adalah momen bersejarah di mana mereka bisa melayani masyarakat secara langsung. Tugas mereka meliputi pengaturan jadwal performer, memastikan setiap titik berjalan lancar, dan bahkan membantu menyediakan konsumsi bagi para relawan.
Yang paling menarik adalah keberagaman performer yang hadir. Ada paduan suara gereja-gereja Batak, grup dari gereja Maluku, hingga kelompok beatbox yang menambah warna acara. Salah satu momen yang paling berkesan adalah penampilan paduan suara Universitas Pelita Harapan di Dukuh Atas. Mereka datang dengan 100 anggota, menyanyikan lagu-lagu Natal, termasuk Tanah Airku. Lagu itu, dengan harmoni yang megah, membawa suasana yang menggetarkan hati. Banyak yang menangis mendengar lagu itu, merasakan semangat Indonesia yang kuat di tengah kehangatan Natal.
Pak Anies, yang awalnya hanya direncanakan hadir di satu titik, memutuskan untuk mengunjungi semua lokasi. Dengan bersepeda, beliau menyapa setiap kelompok, memberikan apresiasi kepada para performer, dan bahkan memastikan acara di FX Sudirman diperpanjang agar beliau sempat hadir. Perjalanan beliau, yang melibatkan interaksi langsung dengan performer dan warga, memperlihatkan bagaimana kehadiran seorang pemimpin bisa memberi semangat kepada banyak orang.
Namun, dinamika di lapangan tidak selalu mulus. Di salah satu titik, ada paduan suara ibu-ibu gereja yang tampil dengan sangkakala dan berbicara dalam bahasa roh. Sebagai panitia, saya sempat khawatir, terutama karena ini dilakukan di ruang publik. Namun, antusiasme mereka begitu besar, dan acara berlangsung lancar tanpa gangguan. Bahkan ketika ada keraguan dari pihak keamanan, dukungan langsung dari Gubernur memastikan semuanya berjalan tanpa hambatan.
Pohon Natal Persatuan: Kolaborasi dan Keberlanjutan
Selain Christmas Carol, kami juga memutuskan untuk mendirikan pohon Natal di ruang publik. Pilihan lokasi jatuh pada Tamrin 10, sebuah ruang publik baru yang sebelumnya adalah lapangan parkir. Dengan semangat kolaborasi, kami mengundang Yayasan Tarakanita untuk membantu mewujudkan pohon ini.
Ide untuk membuat pohon Natal dari botol plastik bekas muncul dari inspirasi Gubernur Anies yang pernah melihatnya di sebuah gereja. Proyek ini menjadi kolaborasi besar yang melibatkan siswa-siswa Tarakanita, orang tua, suster, ASN, PPSU, hingga Dinas Sumber Daya Air. Semua pihak bekerja tanpa kenal lelah, bahkan hingga malam hari.
Salah satu momen yang paling mengharukan adalah ketika bintang dipasang di puncak pohon oleh Ibu Mona dari Tarakanita, menggunakan truk crane. Pohon Natal ini diberi nama “Pohon Natal Persatuan,” mencerminkan tema Natal tahun itu.
Refleksi tentang Kepemimpinan dan Harmoni
Pengalaman ini tidak hanya tentang merayakan Natal, tetapi juga tentang belajar bagaimana kepemimpinan dapat menciptakan ruang bagi harmoni. Salah satu momen paling mengesankan adalah ketika Gubernur Anies berbagi cerita tentang masa mudanya sebagai siswa pertukaran pelajar di Amerika. Beliau bercerita tentang bagaimana ibunya yang bijaksana sering membawanya ke gereja-gereja di wilayah pedesaan Amerika Selatan. Ia tidak pergi untuk beribadah, tetapi untuk bercerita tentang Indonesia. Ibunya tahu bahwa gereja adalah tempat masyarakat berkumpul, dan ini menjadi kesempatan untuk memperkenalkan budaya dan cerita tentang negara asalnya.
Beliau mengingat, dari pertemuan-pertemuan itu, ia belajar berbicara di depan umum, berinteraksi dengan komunitas, dan memahami dinamika lintas budaya. Pengalaman ini menanamkan nilai keberagaman yang terus beliau pegang hingga saat ini. Kisah itu, yang disampaikan kepada saya dalam percakapan pribadi, memberikan pandangan tentang bagaimana seorang pemimpin memahami pentingnya empati dan inklusi dalam setiap keputusan yang diambil.
Salah satu contoh nyata dari nilai-nilai itu adalah usaha beliau menyelesaikan izin pembangunan gereja yang telah tertunda selama puluhan tahun. Di tahun 2021, beberapa gereja seperti Gereja Damai Kristus di Tambora akhirnya mendapatkan izin setelah lebih dari 30 tahun. Saya ingat suasana haru di peresmian gereja tersebut, di mana Gubernur Anies terlebih dahulu mengunjungi seorang imam yang sebelumnya menolak pembangunan gereja tersebut. Dalam momen itu, beliau berbicara dengan penuh hormat, meminta dukungan sang imam untuk menerima keputusan tersebut demi keadilan bersama.
Hasilnya, gereja itu akhirnya berdiri, dan peristiwa itu menjadi simbol bagaimana dialog yang tulus dapat menciptakan harmoni bahkan di tengah perbedaan yang sulit.
Epilog: Natal, Kota, dan Harapan
Natal di Jakarta tahun 2019 adalah pelajaran penting tentang bagaimana kota bisa menjadi ruang bagi keberagaman, kebersamaan, dan kolaborasi. Christmas Carol di ruang publik dan Pohon Natal Persatuan adalah bukti bahwa dengan visi yang jelas dan kolaborasi yang tulus, bahkan hal yang tampak sulit dapat diwujudkan.
Empat tahun setelah itu, saya sering kali mengenang momen-momen kecil tetapi berharga tersebut. Bagi saya, Natal bukan hanya tentang perayaan, tetapi tentang menghadirkan terang dan harapan bagi orang-orang di sekitar kita. Dalam setiap langkah kita membangun kota ini, semangat Natal seharusnya terus hidup—menginspirasi kita untuk menciptakan ruang bagi persatuan dan kebersamaan.
Semoga cerita ini bisa menjadi pengingat bahwa, di tengah tantangan yang ada, ada harapan untuk membangun sesuatu yang lebih baik—bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi untuk semua orang.
Dedi Wijaya, TGUPP Pemprov DKI Jakarta (2017-2022)