
Dok. PIK
JAKARTA - Sore itu, langit Batavia PIK berwarna jingga keemasan. Deretan lampu panggung menyala, musik tradisional berpadu dengan denting modern, dan penonton mulai menahan napas ketika adegan pertama dimulai. Inilah The Echoes of Batavia, episode ketiga dari pertunjukan Batavia Tales yang kembali bikin pengunjung terpukau.
Pertunjukan yang digelar gratis setiap Sabtu dan Minggu pukul 17.17 WIB di Alun-alun Batavia PIK ini menghadirkan drama perjuangan, cinta, dan keberanian dengan latar kehidupan Batavia pada akhir abad ke-19. Cerita mengalir lewat dialog, tarian, dan efek visual yang membuat penonton merasa seperti benar-benar berada di masa kolonial.
“Lewat Batavia Tales, kami ingin penonton menikmati hiburan yang bukan cuma memukau mata, tapi juga menggugah hati. Ini bentuk apresiasi kami terhadap sejarah dan budaya yang membentuk Jakarta,” ujar Ramon Flotats, Director of Operations Amantara.
Episode kali ini menceritakan Ana Maria Titale dan enam sekawan yang berjuang membebaskan Suminah, pejuang perempuan yang ditangkap karena pemberontakan Cilegon. Cerita dibalut dengan atmosfer misterius, dari gang sempit hingga gema teriakan perjuangan yang membuat penonton ikut larut dalam emosi.
Menurut mhyajo, penulis sekaligus sutradara, The Echoes of Batavia bukan hanya pentas sejarah, tapi juga refleksi atas semangat persatuan.
“Setiap tokoh membawa pesan tentang keberanian dan harapan yang tetap relevan hari ini,” katanya.
Bagi pengunjung Batavia PIK, pertunjukan ini jadi cara baru menikmati sore akhir pekan. Setelah menonton, mereka bisa langsung menikmati suasana kuliner di sekitar alun-alun sambil membicarakan adegan favorit masing-masing. The Echoes of Batavia pun bukan sekadar tontonan, melainkan pengalaman, sebuah perjalanan waktu yang hidup di jantung Jakarta modern.