Optimisme Semu Perekonomian Indonesia di Tahun 2025: Refleksi Tahun Baru 2025

Tahun 2025 dimulai dengan kabar yang mengejutkan dan mengguncang banyak kalangan, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kebijakan ini meskipun bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, membawa dampak yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia yang sudah berada dalam kondisi tertekan. Dengan PPN yang lebih tinggi, harga barang dan jasa akan meroket, menciptakan efek domino yang menghantam sektor-sektor vital ekonomi Indonesia. Sebuah jalan pintas yang bisa mengarah pada kesulitan massal bagi jutaan rakyat Indonesia.

Kenaikan PPN ini menjadi pukulan telak bagi sektor industri yang selama ini sudah berjuang di tengah ketatnya persaingan dan inflasi. Para pengusaha yang sudah beroperasi dengan margin yang tipis kini harus menghadapi beban yang lebih berat, terutama dari sisi biaya produksi yang melonjak. Seiring dengan peningkatan biaya bahan baku, distribusi, dan tenaga kerja, perusahaan terpaksa menyesuaikan harga jual barang dan jasa. Akibatnya, daya beli masyarakat yang sudah tergerus semakin terpuruk.

Di sinilah masalah besar muncul, banyak perusahaan terpaksa memangkas biaya dengan cara yang paling brutal, yaitu PHK massal. Menurut beberapa ekonom, kondisi ini dapat memicu lonjakan angka pengangguran yang sangat signifikan di tahun 2025. Jika hal ini terjadi, maka Indonesia akan terperangkap dalam lingkaran setan krisis ekonomi, dimana PHK mengurangi daya beli, dengan menurunnya daya beli semakin menekan industri untuk melakukan efisiensi yang lebih besar lagi.

Dengan harga-harga barang yang semakin tinggi akibat kenaikan PPN 12%, daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, akan semakin tergerus. Toko-toko ritel, pasar tradisional, bahkan restoran, akan merasakan dampaknya. Konsumen yang sebelumnya masih mampu membeli kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau, kini harus berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk berbelanja. Ketika daya beli menurun, maka konsumsi domestik yang menjadi motor penggerak ekonomi juga ikut menurun. Ekonomi yang semestinya bertumbuh akan terhambat. Ini adalah kondisi yang sangat membahayakan, karena konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Sektor yang tak kalah terancam adalah startup, startup yang selama ini menjadi harapan besar untuk mendorong inovasi dan menciptakan lapangan kerja kini terjebak dalam pusaran krisis. Mereka yang mengandalkan modal investasi dan beroperasi dengan margin yang rapuh akan menghadapi kesulitan besar. Kenaikan PPN yang membebani konsumsi, ditambah dengan penurunan daya beli yang tajam, membuat banyak konsumen menahan pembelian barang dan layanan baru.

Banyak startup yang terpaksa mengurangi skala operasi, bahkan terancam bangkrut. Salah satu indikator yang jelas dari situasi ini adalah penurunan jumlah pendanaan yang mengalir ke sektor teknologi dan inovasi. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah untuk memberikan stimulus atau kebijakan yang mendukung sektor ini, maka Indonesia bisa kehilangan momentum untuk menjadi negara dengan ekonomi digital yang berkembang pesat.

Bukan hanya sektor formal yang terdampak, sektor informal seperti ojek online juga merasakan dampaknya. Tarif transportasi online yang meningkat akibat kenaikan PPN akan berimbas langsung pada penghasilan para pengemudi. Banyak dari mereka yang mengandalkan penghasilan harian dari platform ojek online akan kehilangan pelanggan, karena konsumen memilih untuk mengurangi perjalanan atau beralih ke alternatif transportasi yang lebih murah. Para pengemudi ojek online yang selama ini sudah berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kini terancam terpuruk lebih dalam. Bukan hanya penghasilan yang berkurang, tapi juga ketidakpastian tentang masa depan mereka yang semakin besar. Hal ini menunjukkan betapa sektor informal dan pekerja berbasis digital yang mulai berkembang sangat rentan terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.

Pajaki 100 Orang Terkaya

Di tengah-tengah kondisi yang sangat memprihatinkan ini, kita tentu masih ingat dengan gagasan segar dan inovatif Anies Rasyid Baswedan saat kampanye Pilpres 2024 untuk menarik pajak dari 100 orang terkaya di Indonesia. Gagasan ini, meskipun kontroversial, justru bisa menjadi solusi bagi defisit anggaran negara yang semakin membengkak. Pemerintah harusnya mengalihkan fokus kebijakan pajak dari masyarakat umum yang sudah tertekan ke pihak-pihak yang memiliki kekayaan luar biasa. Dengan mendukung kebijakan progresif semacam ini, pemerintah bisa meningkatkan pendapatan negara tanpa harus membebani masyarakat dengan kenaikan PPN yang begitu drastis.

Dengan defisit APBN yang membengkak akibat memburuknya kondisi ekonomi global dan melonjaknya beban bunga serta utang negara, pemerintah memang harus menemukan solusi jangka panjang untuk memperbaiki neraca keuangan negara. Namun daripada hanya mengandalkan kenaikan pajak seperti PPN yang menghantam semua kalangan, pemerintah seharusnya fokus pada kebijakan yang lebih efisien dan tepat sasaran.

Gemoynya kabinet bentukan Presiden Prabowo Subiyanto, yang terkenal tidak efisien, hanya menambah kesulitan. Dengan kabinet yang tampaknya lebih fokus pada kepentingan bagi-bagi kue kekuasaan kepada tim suksesnya daripada solusi konkret untuk rakyat, banyak pihak yang meragukan apakah pemerintah mampu membawa Indonesia keluar dari krisis ini. Efisiensi dan konsistensi dalam kebijakan hendaknya dilaksanakan dengan tindakan bukan “Omon-omon” saja, ingat bahwa pemimpin dapat dipercaya karena adanya kesatuan antara pikiran, perkataan dan perbuatan.

Optimisme Yang “Semu”

Seiring dengan merosotnya daya beli dan pengurangan lapangan pekerjaan, banyak masyarakat Indonesia yang sebelumnya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, kini akan menghadapi kondisi yang lebih berat. Dengan PHK massal, penghasilan yang tergerus, dan harga kebutuhan pokok yang semakin melonjak, banyak keluarga yang terancam jatuh ke dalam jurang kemiskinan yang semakin dalam. Kesenjangan sosial yang sudah cukup lebar antara yang kaya dan miskin. Hal ini bisa memicu ketegangan sosial dan menciptakan ketidakstabilan di masyarakat. Dengan semua tantangan besar yang menghadang, 2025 semakin terlihat sebagai tahun yang penuh dengan ketidakpastian. Dari PHK massal hingga peningkatan kemiskinan, dari pajak yang memberatkan hingga sektor bisnis yang terpuruk, masyarakat Indonesia harus siap menghadapi kenyataan pahit yang bisa menghancurkan optimisme yang seharusnya ada di tahun baru ini. Pemerintah harus bertindak cepat dan tepat. Jika tidak, 2025 akan menjadi tahun yang menguji ketahanan bangsa ini, dan bukan tidak mungkin, kita akan terperosok dalam krisis ekonomi yang lebih dalam.

Wallau A’lam.

Selamat Tahun Baru 2025.

Dr. Heri Solehudin Atmawidjaja, Pemerhati Ekonomi Politik dan Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta, Wakil Ketua Forum Doktor Sosial Politik Universitas Indonesia, Direktur Heri Solehudin Center