Rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 salah satunya diduga karena keinginan publik diabaikan elite politik.
JAKARTA - Rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 salah satunya diduga karena keinginan publik diabaikan elite politik.
Hal ini ditegaskan Peneliti Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, Selasa (3/12/2024). Menurutnya, minimnya keterlibatan publik dalam proses mengusulkan sosok calon kepala daerah membuat aspirasi mereka seolah tidak sejalan.
Faktor itu yang diduga membuat masyarakat malas menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada 2024. Firman menilai rendahnya rasa terlibat masyarakat dalam pilkada menjadi persoalan serius.
Proses pencalonan sering kali dianggap hanya menjadi urusan partai politik atau elite. Akhirnya publik merasa aspirasi mereka tidak dilibatkan dalam menentukan calon pemimpin.
Untuk itu, Firman mengusulkan agar partai politik membuka ruang lebih luas bagi konstituen buat ikut memberikan suara dan menentukan kandidat kepala daerah akan diusung, supaya pemilihan kepala daerah (Pilkada) lebih menarik minat publik.
Firman menilai minimnya keterlibatan masyarakat menjadi alasan utama rendahnya antusiasme pemilih. Firman menyebut proses pencalonan sering dianggap eksklusif, hanya melibatkan elite partai politik.
Hal ini membuat masyarakat merasa tidak terlibat sejak awal, sehingga kehilangan gairah dalam Pilkada. Ia menilai kebiasaan partai politik menentukan calon tanpa melibatkan suara masyarakat perlu diubah.
Firman menyarankan parpol mulai mendengarkan aspirasi konstituen dalam memilih kandidat kepala daerah, bukan sekadar mengikuti kepentingan internal atau kesepakatan antarelite.
"Kebiasaan memilih calon yang terkesan instan dan tidak dekat dengan masyarakat membuat calon pemilih enggan datang ke tempat pemungutan suara," kata Firman.
Ia menambahkan, pendekatan yang lebih terbuka terhadap usulan masyarakat bisa meningkatkan kedekatan kandidat dengan konstituen. Ia menekankan pentingnya kandidat yang memiliki hubungan kuat dengan masyarakat agar dapat memicu partisipasi pemilih lebih besar.
Sebab selama ini, kata Firman, kandidat kepala daerah yang diusung kerap jarang dikenal publik. "Makanya muncul calon yang tidak populer, misalnya, yang kontroversial, yang tidak mengakar. Jadi dipilihnya kandidat mungkin hanya karena faktor deal politik antar-pimpinan parpol," pungkasnya.