PBB Serukan Investigasi Penanganan Demo di Indonesia
Personel polisi menghalau pengunjuk rasa di Jalan Letjend S Parman, depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/8/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)

JAKARTA - Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mendesak pemerintah Indonesia untuk segera melakukan penyelidikan menyeluruh, cepat, dan transparan terkait dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan aksi demonstrasi yang meluas di berbagai wilayah.

Desakan ini disampaikan menyusul gelombang protes yang terjadi selama sepekan terakhir, terutama terkait isu kenaikan tunjangan DPR RI. Aksi-aksi tersebut kerap berujung bentrokan antara aparat dan massa, bahkan memakan korban jiwa.

“Kami menyerukan investigasi terhadap semua dugaan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk terkait penggunaan kekuatan secara berlebihan,” ujar juru bicara OHCHR, Ravina Shamdasani, Senin (1/9).

Shamdasani menegaskan bahwa aparat keamanan Indonesia, termasuk kepolisian dan militer yang ditugaskan dalam penegakan hukum, wajib menjunjung tinggi hak kebebasan berkumpul secara damai dan kebebasan berekspresi, serta bertindak sesuai dengan norma dan standar internasional.

“Seluruh aparat keamanan harus mematuhi prinsip dasar penggunaan kekuatan dan senjata api,” tambahnya.

OHCHR juga menyoroti pentingnya peran media dalam meliput situasi di lapangan secara bebas dan independen.

“Kami terus memantau kekerasan yang terjadi dan menekankan pentingnya dialog untuk merespons aspirasi publik,” tegas Shamdasani.

Kekerasan Aparat Tuai Kecaman Internasional

Penanganan aparat terhadap demonstrasi di Indonesia juga menuai kecaman dari komunitas internasional lainnya. Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) mengecam keras insiden yang menewaskan Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang dilaporkan tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus lalu.

“APHR mengecam keras tindakan brutal polisi yang menyebabkan kematian Affan Kurniawan,” tulis organisasi tersebut dalam pernyataan resminya yang dirilis Jumat (29/8).

Menurut APHR, tragedi tersebut mencerminkan dampak kemanusiaan dari penggunaan kekerasan sebagai respons awal terhadap aksi sipil. Mereka juga mengkritisi pendekatan aparat yang menimbulkan ketakutan, alih-alih membuka ruang negosiasi damai dengan mahasiswa dan buruh yang berdemo di depan Polda Metro Jaya dan Mabes Polri.

211 Organisasi HAM Desak Reformasi Kepolisian

Kecaman juga datang dari 211 organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara yang tergabung dalam jaringan Forum Asia. Dalam pernyataan bersama berjudul "Melindungi Hak Berunjuk Rasa: Solidaritas Internasional untuk Indonesia #StopKebrutalanPolisi" yang dirilis Minggu (31/8), mereka mendesak Kepolisian RI menghentikan penggunaan kekuatan berlebihan dalam penanganan demonstrasi.

Organisasi-organisasi ini menuntut:

  • Penghentian kekerasan terhadap demonstran.

  • Penegakan Perkap No. 1 Tahun 2009 serta standar internasional, termasuk UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms.

  • Investigasi independen terhadap pelanggaran yang dilakukan aparat, termasuk insiden kematian Affan Kurniawan.

  • Penindakan etik dan pidana terhadap pelaku kekerasan di lapangan.

  • Delapan Korban Jiwa Terkonfirmasi

Hingga kini, aksi demonstrasi yang terjadi di sejumlah daerah telah mengakibatkan delapan korban jiwa. Rinciannya: empat orang di Makassar, dua di Jakarta, satu di Solo, dan satu mahasiswa di Yogyakarta.

Situasi ini menambah sorotan atas pendekatan represif negara terhadap protes publik. Berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri, menilai bahwa respons keras aparat berisiko merusak tatanan demokrasi dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.