Pemilihan Rektor UPI Disorot: Senat Akademik Pertimbangkan PTUN, Desak Revisi Peraturan MWA
Foto: istimewa

BANDUNG — Pemilihan tiga calon rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) periode 2025–2030 menuai sorotan tajam dari sembilan anggota Senat Akademik (SA). Mereka mempertanyakan transparansi Majelis Wali Amanat (MWA) dan menuntut revisi Peraturan MWA Nomor 1 Tahun 2025 yang dinilai membuka celah konspirasi dan bertentangan dengan prinsip demokrasi serta Statuta UPI.

Tiga calon rektor—Prof. Didi Sukyadi, Prof. Vanessa Gaffar, dan Prof. Yudi Kusmayadi—ditetapkan melalui sidang pleno tertutup MWA pada 5 Mei 2025. Namun, sejumlah sivitas akademika menilai proses penetapan itu tidak didasarkan pada kriteria objektif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 PerMWA 1/2025.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa penetapan calon rektor harus mengacu pada hasil asesmen Tim Independen, rekam jejak kepemimpinan, dan paparan visi-misi para kandidat, dengan mempertimbangkan masukan dari SA. Hingga kini, hasil asesmen maupun dokumen pertimbangan SA belum pernah dipublikasikan secara terbuka.

“Kami tidak melihat transparansi sebagaimana dijanjikan. Ini pemilihan pejabat publik, bukan urusan privat,” ujar salah satu anggota SA.

SA juga menyoroti metode “one person three vote” dalam pemilihan yang disebut berpotensi mengarahkan hasil sejak awal. Elly Malihah, salah satu anggota SA, mengungkapkan bahwa metode tersebut telah digunakan pula dalam pemilihan anggota MWA sebelumnya, yang justru memperkuat indikasi adanya konspirasi.

“Ini jelas menciptakan hegemoni, bahkan tirani mayoritas. Demokrasi seharusnya tidak dibajak oleh sistem yang memberi satu orang tiga suara,” kata Elly.

Sebelumnya, harapan sempat muncul ketika Ketua MWA, Nanan Soekarna, menyampaikan komitmennya terhadap pemilihan yang bebas dari konspirasi melalui tagline “values for value, full commitment, no conspiracy”. Namun, SA menilai semboyan itu belum terealisasi dalam praktik.

Pertemuan antara SA dan MWA yang digelar pada 15 April 2025 di University Center UPI juga tidak menghasilkan langkah konkret. Kritik SA terhadap Pasal 17 yang mengatur sistem pemungutan suara dianggap tidak direspons secara serius.

SA menyatakan bahwa hak suara Menteri Pendidikan Tinggi yang seharusnya sebesar 35 persen justru dikurangi drastis menjadi hanya satu suara pada tahap penyaringan. Mereka menyebut kebijakan ini sebagai cacat hukum dan menuntut agar hak suara Menteri dikembalikan sesuai statuta.

Guru Besar Ilmu Manajemen UPI, Nugraha, turut menegaskan pentingnya sistem pemilihan yang adil dan demokratis. Ia menyebut bahwa sistem one person three vote membuka ruang konspirasi dan mengancam prinsip representasi yang adil di lingkungan akademik.

“Jika satu orang bisa memiliki banyak suara, di mana keadilannya? Ini bisa berimbas bukan hanya pada pemilihan rektor, tapi juga pada anggaran dan kebijakan strategis kampus,” ujar Nugraha.

Atas sejumlah kejanggalan tersebut, sembilan anggota SA menyatakan sedang mempertimbangkan langkah hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan yang disiapkan mencakup dua pokok materi: pelanggaran terhadap Statuta UPI dalam metode pemungutan suara, serta ketidakjelasan penerapan hasil asesmen Tim Independen sebagai dasar pemilihan.

“Jika tidak direvisi, maka tagline transparansi dan objektivitas itu hanya akan menjadi retorika kosong,” tegas SA dalam pernyataan kolektifnya.

Hingga berita ini diturunkan, pihak MWA belum memberikan tanggapan resmi atas kritik maupun rencana gugatan hukum yang disampaikan.