
Foto: ist
JAKARTA - Musik tradisional bukan sekadar peninggalan, melainkan napas identitas yang terus bergerak. Hal itu ditunjukkan oleh Barak Karinding, grup musik asal Balaraja, Tangerang, yang menggabungkan instrumen bambu tradisional karinding dengan aransemen modern. Penampilan mereka di Soundtuari Festival Lombok 2025 menandai bagaimana tradisi bisa menemukan relevansi di kancah global.
Festival yang digelar di Gili Air, Lombok Utara, menghadirkan musisi dari berbagai belahan dunia. Pulau kecil ini disulap menjadi panggung terbuka selama tiga hari, memadukan musik dan seni visual dalam skala internasional. Di tengah atmosfer itu, denting karinding tampil sebagai representasi budaya Nusantara yang sanggup berdialog dengan musik kontemporer.
Kapten Barak Karinding, Ahmad Lamhatunazauri atau Ncek, menyebut pengalaman tampil di Gili Air sebagai momentum penting.
“Kami sangat terhormat bisa berada di sini. Terima kasih untuk semua pihak yang telah mendukung,” ujarnya.
Ncek menekankan dukungan dari beragam pihak menjadi penopang utama perjalanan mereka.
“Selain Pemda Kabupaten Tangerang, kami juga mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu Group dan PIK2. Mereka memberi kami energi dan kepercayaan untuk membawa musik karinding tampil di panggung internasional,” kata dia.
Kehadiran Barak Karinding mempertegas pentingnya kolaborasi antara seniman, pemerintah, dan sektor swasta dalam menjaga keberlangsungan budaya. Dukungan dari korporasi seperti Agung Sedayu Group dan PIK2 menunjukkan bahwa pelestarian tradisi bisa sejalan dengan pembangunan modern.
Di Gili Air, karinding tidak hanya sekadar dimainkan, tetapi juga diberi panggung untuk hidup dan didengar dunia. Dari bambu sederhana lahir resonansi yang mengingatkan: budaya lokal adalah bagian dari wajah global Indonesia.