YOGYAKARTA – Pilgub Jakarta 2024 menghadirkan dinamika politik yang menarik, terutama dengan bersatunya pendukung dua tokoh yang sebelumnya berada di kubu berseberangan: Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pengamat politik, Assoc. Prof. Dr. Khamim Zarkasih Putro, M.Si., menilai fenomena ini sebagai langkah penting menuju pencairan polarisasi politik yang sempat memanas pada Pilgub 2017.
“Polarisasi yang dulu panas kini sudah mencair. Bersatunya Anak Abah (pendukung Anies) dan Ahoker dalam mendukung Pramono Anung-Rano Karno menjadi bukti bahwa keberagaman politik dapat diterima,” ujar Khamim Minggu, 24 November 2024.
Dosen pascasarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengungkapkan, pada Pilgub Jakarta 2017, persaingan antara Anies dan Ahok berlangsung sengit, bahkan memicu polarisasi di tengah masyarakat. Namun kini, kedua tokoh tersebut berada di satu perahu yang sama, mendukung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno dalam kontestasi Pilgub Jakarta 2024.
Menurut Khamim, PDIP telah mengakomodasi berbagai elemen, termasuk mempertimbangkan kekuatan Islam di Jakarta yang masih dominan. Kehadiran Anies di kubu Pramono-Rano menjadi simbol representasi elemen tersebut.
Kembali tentang Anies dan Ahok, Khamim mengungkapkan bahwa bersatunya pendukung kedua tokoh tersebut menciptakan konfigurasi politik yang unik. Hal ini sebagai sinyal positif untuk masa depan politik Indonesia. “Polarisasi yang dulu panas kini mencair. Ini baik untuk perpolitikan ke depan, karena menunjukkan bahwa keberagaman dalam politik dapat diterima,” tegasnya.
Fenomena ini juga menunjukkan kesamaan visi antara kubu pendukung Anies dan Ahok dalam melawan status quo. Menurut Khamim, keberadaan Pramono Anung dan Rano Karno sebagai pasangan calon yang didukung PDIP menjadi titik temu bagi berbagai elemen politik yang sebelumnya terpecah.
Tidak hanya itu, Khamim juga mencatat perbedaan sikap antara elite dan akar rumput dalam partai-partai politik pengusung Anies di Pilpres, seperti PKB dan NasDem. “Banyak akar rumput dari PKB dan NasDem justru mendukung Pram-Rano, meskipun di tingkat elite mereka mungkin memiliki pandangan berbeda,” ungkapnya.
Menurutnya, soliditas ini muncul sebagai respons atas pengalaman dalam Pilpres, di mana baik kubu Anies maupun kandidat lain merasa ada ketidakadilan dalam proses demokrasi. Hal ini menjadi daya dorong bagi berbagai pihak untuk bersatu demi perubahan yang lebih besar.
Khamim optimistis bahwa dinamika ini akan memberikan dampak positif bagi demokrasi di Indonesia. Pilgub Jakarta 2024 bukan hanya kontestasi politik lokal, tetapi juga cerminan kedewasaan politik di tingkat nasional. “Soliditas ini menunjukkan bahwa politik tidak harus selalu terpecah, dan keberagaman dapat menjadi kekuatan, bukan kelemahan,” pungkasnya.