YOGYAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan serentak di berbagai daerah Indonesia pada Senin (6/1/2025). Pada tahap awal, program ini menyasar 26 provinsi dengan total 3 juta penerima manfaat. Namun, pelaksanaan program ini menuai kritik.
Aktivis Jarnas, Imam Sujangi, menyampaikan keprihatinannya. Menurutnya, realisasi program pada hari kedua masih jauh dari harapan. "Apa yang dikhawatirkan sebelumnya ternyata menjadi kenyataan: program ini layak untuk diprihatinkan, jauh panggang dari api," ungkapnya saat dihubungi Selasa,7 Januari 2025.
Imam menilai klaim program ini sebagai "awal menuju Indonesia Emas" tidak sesuai dengan kenyataan. "Bagaimana bisa mencapai generasi hebat untuk Indonesia Emas 2045 jika dimulai dari makanan yang kurang bergizi? Programnya, kan, bombastis, katanya akan ada susu bergizi," ujarnya.
Sebagai lulusan Farmasi UGM Yogyakarta, Imam menegaskan bahwa "gizi" bukan sekadar istilah. Ada ukuran jelas dalam dunia kesehatan, seperti jumlah protein, karbohidrat, dan lemak yang harus dipenuhi. Ia menyayangkan pelaksanaan program yang tidak seragam. "Ada beberapa daerah yang melaksanakan MBG tanpa adanya susu. Kalau ini program nasional, kenapa setiap daerah berbeda-beda?" tanyanya.
Menurutnya, anggaran sebesar Rp10.000 per porsi juga menjadi masalah. "Dengan angka itu, program ini jelas kerepotan. Ibaratnya, kita makan di warung dengan Rp10.000 dapat apa?" kritiknya.
[caption id="attachment_239347" align="alignnone" width="750"] Salah satu program Anies Baswedan saat menjadi Gubernur DKI Jakarta adalah Program Penyediaan Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMT-AS). (Foto: aniesbaswedan.com)[/caption]
Makan Gratis Era Anies Baswedan di Jakarta
Pemilik apotek di Yogyakarta ini juga membandingkan program ini dengan kebijakan serupa di DKI Jakarta pada masa kepemimpinan Anies Baswedan. "Di Jakarta era Anies, program makan gratis gizinya terpantau dan ukurannya jelas. Ini (MBG) sangat jauh berbeda," jelasnya.
Ia juga menyinggung pernyataan Prabowo Subianto terkait "revolusi putih" yang menjanjikan makan siang gratis dan susu. Namun, kenyataannya, distribusi susu tergantung stok di daerah. "Kalau memang belum siap, jangan dimulai dulu. Ini kan lucu sekali pembelaannya," ujarnya.
Imam menekankan pentingnya kecukupan gizi dalam program seperti ini. Komponen makanan bergizi meliputi protein dari telur, daging, nabati, dan hewani, serat dari sayur, serta karbohidrat dari nasi. Susu, menurutnya, merupakan elemen penting karena kandungan proteinnya membantu memenuhi kebutuhan gizi anak.
"Lha, kemarin Gibran lempar-lempar susu, tapi giliran makan bergizi gratis, susunya malah menghilang. Kan banyak meme soal itu di media sosial," sindirnya.
Meski demikian, ia mengapresiasi manfaat program ini bagi masyarakat kurang mampu yang jarang sarapan. Namun, jika disamaratakan untuk semua anak, terutama yang terbiasa sarapan dengan menu bergizi di rumah, ini justru merendahkan. "Anak yang biasa sarapan dengan telur dan susu, malah di sekolah tidak mendapatkan yang sepadan. Orang tua banyak yang bela-belain supaya anaknya makan bergizi, tapi hasilnya mengecewakan," tuturnya.
Program MBG, menurut Imam, bombastis dalam wacana tetapi memprihatinkan dalam pelaksanaan. Ia berharap pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh untuk memperbaiki implementasinya.