RK, Pram, Anies, dan Jakarta Kita

Garis tangan dan jalan hidup memang tak hanya "pilihan". Tapi seringkali ada juga faktor "dipilihkan". Entah oleh karena keinginan sendiri atau seringnya karena desakan dan keadaan yg tak terduga. Tak heran, orang sering menyebut hidup itu misteri. Penuh kejutan.

RK. Idealnya, ia maju menjadi Cagub Jawa Barat untuk kedua kalinya. Survei-nya tinggi. Siapapun yang maju untuk mengalahkannya maka pasti harus kerja keras. Bahkan keras sekali, untuk tdk mengatakan mustahil mengalahkan RK.

Tapi, keadaan berubah. Saat itu, RK diyakinkan untuk wajib masuk Jakarta. Tujuannya? Salah satu alasan utamanya: Untuk menandingi Anies. RK dipandang satu-satunya figur yg bisa menghalau Anies dari "Panggung Besar Politik" bernama Gubernur Jakarta. Koalisi besar dibentuk untuk RK. Jika skenario jadi maka RK vs Anies adalah pertarungan yang keras sekaligus seru.

RK akhirnya maju ke Batavia. Meninggalkan kursi empuk Jabar. Gegap gempita. Yakin menang. Meski harus melawan Anies.

Eh. Alur politik berubah drastis. Singkat cerita. Jangankan bertanding, Anies "ternyata" tidak masuk arena. "Kemenangan" menghalau Anies telah datang dan diraih lebih dahulu. Sudah menang. Setidaknya "merasa menang". Tanpa harus bertanding.

Pram? Bercita-cita menjadi Gubernur Jakarta pasti tak ada dalam kamusnya. Membayangkan saja tak ada. Eh, Keadaan memaksa. Keadaan politiknya: PDIP secara resmi tak mau Anies, juga tak mau Ahok.

Ya sudah, Pram saja. Berangkat dari nol protol. Akhirnya ya sudah, Pram maju saja. Awalnya ia pasti ragu-ragu. Tapi iya meyakin-yakinkan diri saja. Kepalang tanggung, ya sudah maju saja. Menang kalah, namanya juga pertarungan

Anies? Usai tak bisa bertanding. Pasti banyak kontemplasi. Sebagian besar pasti menduga, berpikir dan berharap Anies netral. Kenapa? Ada begitu banyak alasan dan justifikasi yang tersedia: Anies takkan berpihak kepada keduanya. Anies pasti netral. Termasuk juga simpatisannya, pemilihnya saat Pilgub 2017 dan Pilpres akan golput atau gercos.

Akhirnya, Anies tentu menghitung cermat. Demikian juga sebagian besar simpatisan dan pemilihnya. Anies Lantas membuat putusan yang membalikkan dugaan banyak orang. Anies bersikap, declare resmi ke Pram.

Simpatisan atau pemilih Anies juga bersikap. Tentu terbelah. Ada yang gercos, ada yang tak datang ke TPS. Ada yang ke RK, ada yang ke Pram.

Tapi, karena Anies terang-terangan ke Pram, maka dapat dipastikan pemilihnya selama ini sebagian besar bergerak pendulumnya ke Pram. Dan Pram pun menyala! Amat menyala! Sesuatu yang sama sekali tak terlintas didalam pikirannya. Bahkan mungkin tak berani melihat dalam mimpinya.
Itulah misterinya.

Yang pasti, Pilkada sdh berakhir di Jakarta. Semua kembali ke normalitas politik baru. RK juga tak menggugat ke MK. Artinya? RK dan seluruh timnya juga partai pendukung telah menerima hasil itu. Pram juga sudah pasti harus berendah hati dan merangkul semua.

Itulah demokrasi, demokrasi di Jakarta kita!

Nur Iswan, Indopol