Ketika pertama kali mendengar pertanyaan dari Mas Anies Baswedan (teman-teman silakan buka youtube Anies Baswedan), “Apa yang bisa membuat teman-teman semua merasa hidup?”, pikiran saya langsung terarah pada hal-hal yang memberi nyawa, tepatnya cahaya atau energi dalam keseharian saya.
Kita memang sangat perlu menjadi diri yang penuh cahaya.
Pertanyaan itu, bagi saya, menjadi pemantik. Merangsang diri untuk menelaah kembali apa esensi kebahagiaan dan cara kita untuk maju terus meski tantangan menghadang.
Mas Anies mengutip gagasan Paulo Coelho dalam bukunya The Warrior of Light, di mana setiap orang sebenarnya memiliki potensi menjadi seorang “ksatria cahaya” yang menemukan kekuatan batin dan menjadikan hidup lebih bermakna.
Paulo Coelho menegaskan pentingnya bersyukur sebagai pondasi seorang ksatria cahaya.
Menjadi Diri Penuh Cahaya, Merangkul Ketidakpastian Hidup
Saya pun meyakini hal ini sejalan dengan nilai yang sudah melekat di masyarakat Indonesia. Kita semua tahu, jalan hidup tak selalu mulus; ada lubang, tanjakan, bahkan rintangan yang kerap membuat kita goyah.
Karena itu, saya belajar untuk menghargai setiap momen, baik suka maupun duka. Menjalani hidup dengan kesadaran bahwa setiap kesulitan adalah teman yang akan menempamu hingga tiba di tujuan.
Seperti kata Coelho, seorang ksatria cahaya adalah orang yang menghargai keajaiban hidup, terus berjuang, dan berani menghadapi tantangan demi mencapai versi terbaik dirinya.
Ia tak pernah mengeluh apalagi menyerah. Baginya setiap detik adalah kesempatan untuk tumbuh, maju dan bermanfaat.
Menurut saya, kita tak perlu menjadi orang lain; kuncinya adalah menemukan siapa diri kita dan tumbuh dengan versi terbaik yang kita bisa.
Itulah mengapa Mas Anies merangkum, bahwa bagian penting dari proses ini adalah merangkul ketidakpastian hidup, mengejar impian dengan gigih, serta membaca—mendalami setiap pelajaran dalam perjalanan hidup.
Entah keberhasilan maupun kegagalan, dua-duanya menyimpan hikmah. Jika kita tekun belajar, penggalan cerita itu menjadi pengalaman berharga.
Mas Anies pernah menekankan kepada anak-anak muda bahwa dalam hidup, yang utama bukanlah mencari posisi, tapi mendapatkan pengalaman.
Bagi saya, kalimat itu begitu dalam maknanya.
Posisi bisa naik-turun, tapi pengalaman dan hikmah tetap tertanam di diri kita, membentuk pondasi kokoh untuk memimpin dan meraih kepercayaan orang banyak.
Seperti Paulo Coelho yang mendorong kita untuk menjadi ksatria cahaya, saya pun ingin terus berusaha mengalirkan cahaya itu: percaya pada kemampuan diri, bersyukur, tekun belajar, dan tak pernah kehilangan energi untuk terus maju.
Mas Anies memberikan tambahan, buku itu membuat kita menghadirkan pertanyaan penting. Misalnya, “Apa yang bisa saya pelajari dari perjalanan ini?”
Kemudian bertanya lebih dalam lagi. “Bagaimana bisa menjadi lebih baik berdasarkan pengalaman ini?”
Pertanyaan itu, Kata Anies Baswedan akan menyelamatkan kita dari menyikapi kegagalan secara salah. “Kalau sudah gagal, diam, duka.” Padahal seharusnya tidak begitu, kalau kita mengerti bagaimana menjadikan itu sebagai pengalaman, pembelajaran.
Dengan cara itu, kita bisa menghadapi ketidakpastian dan menjalani hidup dengan penuh makna.
Apalagi kalau benar-benar bersyukur dan menjadikan rangkaian hidup kita selama ini sebagai pengalaman, ibarat akan berselancar di tengah ombak yang ganas, kita tetap bisa melakukannya dengan tenang, cermat dan berhasil, insya Allah.
Helmy Abud Bamatraf, Political and Policy Literary Studies