YOGYAKARTA – Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto membuat pengakuan mengejutkan terkait kasus Formula E dengan target Anies Baswedan. Menurut Hasto, kriminalisasi Anies merupakan perintah langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal ini diungkapkan dalam podcast Akbar Faizal Uncensored di YouTube. “Saya masih ingat bagaimana Anies Baswedan dikriminalisasi. Jokowi pernah berbicara langsung kepada saya bahwa dia sangat khawatir terhadap potensi Anies sebagai ancaman,” ujar Hasto dalam perbincangan tersebut, seperti dikutip Sabtu, 23 November 202.
Menurut Hasto, kasus Formula E yang menjerat Anies bukanlah proses hukum yang murni. “Kasus Formula E nyata-nyata merupakan bentuk kriminalisasi. Saya bersaksi bahwa itu adalah perintah langsung dari Jokowi,” tegasnya.
Dia mengatakan, menghabisi lawan-lawan politik dengan instrumen hukum ini membahayakan demokrasi. Hasto pun mengalami hal serupa.
Hasto juga mengaku bahwa dirinya sedang menjadi target tuduhan tertentu. “Saya mendapatkan informasi bahwa ada skenario untuk menjadikan saya sebagai tersangka dalam waktu dekat. Saya dianggap kritis dan tajam dalam menyikapi relasi Presiden Jokowi dengan pihak-pihak tertentu,” jelasnya.
Menurut Hasto, situasi politik saat ini jauh dari prinsip demokrasi yang sehat. Ia mengkritik tata kelola negara yang menurutnya semakin tidak mengindahkan etika dan moral.
Hasto mengatakan, ada dua alasanya mengapa dirinya akan dijadikan tersangka dalam kasus yang absurd. Pertama, tentang disertasi yang dibuatnya. "Pertama, adalah disertasi saya. Dalam disertasi tersebut, Jokowi yang seharusnya menjadi simbol kebaikan dan otoritas moral, justru menjadi inti dari gabungan ambisi kekuasaan berbasis feodalisme populisme dan Machiavellianisme," jelasnya.
"Disertasi saya itu karya intelektual, sarat akademik," imbuh Hasto.
Alasan kedua, Hasto terus mengkritik ambisi kekuasaan Jokowi yang terus berjalan. Ini yang membahayakan. "Ambisi ini terus berjalan. Lihat saja bagaimana Gibran sudah ditetapkan sebagai calon wakil presiden meskipun melalui cara-cara yang tidak beretika, bahkan merusak sistem hukum dan konstitusi,” ungkapnya.
Republik atau Kerajaan?
Hasto juga mengkritik langkah Jokowi yang dinilai memobilisasi keluarganya dalam kontestasi politik. Ia mencontohkan keterlibatan Bobby dalam Pilkada Sumatera Utara, serta berbagai upaya lain yang disebutnya membatasi gerak lawan politik Jokowi di banyak daerah.
“Negara ini republik, bukan kerajaan. Tapi Jokowi menempatkan keluarganya di berbagai posisi strategis, termasuk Pilkada Sumatera Utara dan Pilkada lain. Ini menciptakan kontestasi yang tidak sehat,” katanya.
Ia bahkan menyebutkan adanya aliran dana besar untuk memenangkan kandidat-kandidat Jokowi. “Saya mendapat informasi valid bahwa dana Rp200 miliar telah dikucurkan untuk memenangkan calon-calon tertentu, meskipun sebelumnya diminta Rp400 miliar,” ujarnya.
Hasto juga mengungkapkan bahwa ia pernah mengingatkan Jokowi terkait dampak ambisi ini. “Saat itu Jokowi berdiskusi dengan saya. Ia ingin Bobby dan Gibran maju dalam kontestasi politik. Saya mengingatkan bahwa mereka, sebagai pejabat negara, akan menghadapi isu gratifikasi yang sangat sensitif. Tapi ambisi itu tetap dilanjutkan,” tuturnya.
Ambisi itu tidak hanya dengan sokongan duit tanpa batas, tapi juga mengerahkan aparat hukum untuk membungkam dan menghabisi lawan-lawan politik yang berbeda. Salah satunya terkait kriminalisasi terhadap Anies Baswedan di Formula E seperti yang disebut di atas.