YOGYAKARTA – Kontroversi pembredelan lima lukisan karya Yos Suprapto dalam pameran tunggalnya terus menuai perhatian. Pameran ini, yang dikuratori oleh Suwarno Wisetrotomo, batal digelar setelah sejumlah karya diturunkan. Tindakan ini pun memunculkan dugaan adanya intervensi politik dalam dunia seni.
Pelaku seni Yogyakarta, Agus Hartana, menyatakan sepakat dengan pernyataan Anies Baswedan bahwa seni akan selalu menemukan jalannya. "Saya sepakat dan percaya dengan apa yang disampaikan Anies Baswedan bahwa seni tidak akan mati. Apa pun bentuk pembatasannya, seni akan terus mengalir," katanya saat dihubungi Rabu, 25 Desember 2024.
"Sebesar apa pun upaya rezim untuk menghambat, seni tidak akan pernah mati. Seni memiliki kekuatan untuk menembus batasan, bahkan di bawah tekanan politik sekali pun," imbuhnya.
Anies Baswedan dalam cuitannya menyinggung pihak-pihak yang melarang pameran tunggal Yos Suprapto dilaksanakan. “Kadang, cara terbaik menggaunglantangkan sesuatu adalah dengan mencoba menutupinya,” tulisnya.
Anies juga menyebut bahwa seni adalah buah kreativitas yang tak bisa dilarang oleh siapapun. “Seberapapun seni dilarang, ia akan selalu menemukan jalannya,” cuit Anies.
Lebih lanjut Agus Hartana juga menyoroti bahwa istilah "pemberedelan" yang melekat di era Orde Baru kini kembali muncul dalam kasus ini. Meski ada dua karya yang dianggap tidak sesuai tema, jumlah lukisan yang diturunkan justru lima, menimbulkan dugaan adanya campur tangan pihak luar. "Jika memang ada dua karya yang tidak sesuai, mengapa yang diturunkan sampai lima? Ini jelas ada intervensi dari pihak di luar kurator," tegas Goes Hart.
Ia juga menambahkan bahwa seni sebagai ekspresi kreatif harusnya bebas dari segala bentuk pembatasan, terutama campur tangan politik yang kerap membatasi perkembangan seni.
Pria yang akrab disapa Goes Hart inimengutip teori Dick Hartoko dalam buku Seni dan Manusia, yang membedakan seni untuk seni (art for art) dan seni untuk sesuatu (art for something). "Karya Yos Suprapto cenderung pada art for something, yaitu seni yang berisi kritik sosial dan politik. Seni seperti ini sah secara kesenian, tetapi sering kali seni dengan arah ini dibatasi oleh rezim yang cenderung antikritik," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa watak antikritik yang dominan dalam sebuah rezim dapat menghambat perkembangan seni yang kritis, seperti yang dialami Yos Suprapto. "Ini menjadi keprihatinan kami, khususnya bagi pelaku seni," ungkapnya.