The Sound of Silence dan Diamnya Warga Jakarta

"Hello darkness, my old friend. I've come to talk with you again."

Lirik pembuka lagu legendaris The Sound of Silence karya Simon & Garfunkel bergema di tengah hiruk-pikuk Pilkada Jakarta 2024 yang justru sunyi. Ketika warga memutuskan diam, tidak memilih, keheningan itu berbicara lebih lantang daripada pidato kampanye atau sorakan kemenangan. Diam mereka adalah jeritan yang terpendam, protes yang terselip di balik angka golput yang melonjak hingga 42,48 persen—lebih dari 3,4 juta suara yang memilih absen.

Mereka tidak memilih, bukan karena tidak peduli. Mereka diam karena merasa suara mereka tidak lagi berarti. “And the vision that was planted in my brain, still remains, within the sound of silence.” Visinya, harapannya, tertanam saat mereka mendukung tokoh seperti Anies Baswedan, tetapi kemudian dihancurkan oleh intrik politik. Aspirasi mereka dibegal oleh permainan kekuasaan yang mengancam para elite politik untuk tidak memberikan ruang bagi pemimpin yang mereka dambakan.

Diamnya warga adalah wujud nyata dari kehilangan kepercayaan. “People talking without speaking, people hearing without listening.” Politik, yang semestinya menjadi medium dialog antara rakyat dan pemimpinnya, berubah menjadi monolog. Suara rakyat teredam oleh kepentingan elite, seakan-akan mereka hanya penonton dalam drama demokrasi yang sudah ditulis skripnya oleh segelintir orang. Dalam keheningan itu, mereka tahu: tidak ada calon yang benar-benar mencerminkan kehendak mereka.

Seperti dalam lagu "The Sound of Silence," ada paradoks di balik keheningan ini. Diam mereka adalah teriakan. Tidak memilih bukan berarti tidak peduli; justru sebaliknya. Itu adalah bentuk pemberontakan terhadap sistem yang mereka anggap telah gagal. Ketika pilihan-pilihan yang tersedia dianggap tidak merepresentasikan harapan mereka, diam menjadi pernyataan paling kuat. “Silence like a cancer grows.” Keheningan ini menjalar, meluas, hingga menjadi suara dominan dalam Pilkada Jakarta.

Golput bukan sekadar angka. Ia adalah simbol dari kekecewaan mendalam. Kubu yang kalah, pasangan Ridwan Kamil dan Suswono, bahkan mengakui bahwa golputlah pemenangnya. Tetapi mereka lupa: golput lahir bukan dari kehendak rakyat, melainkan dari ketidakadilan yang mereka ciptakan sendiri. Ketika harapan warga Jakarta kepada Anies Baswedan, yang terbukti memiliki elektabilitas tertinggi, dibegal oleh ancaman dan permainan politik, partisipasi politik warga ikut hancur. “The words of the prophets are written on the subway walls, and tenement halls.” Dalam konteks Jakarta, kata-kata itu terukir di hati warga yang diam.

Golput adalah refleksi dari ketidakpuasan pada demokrasi yang dikhianati. Ketika rakyat merasa suara mereka tidak lagi dihitung, mereka memilih untuk tidak bersuara. Tetapi keheningan itu bukanlah akhir. Ia adalah awal dari pertanyaan: ke mana arah demokrasi ini? Seperti gema lirik Simon & Garfunkel, “And the people bowed and prayed to the neon god they made.” Sistem politik telah berubah menjadi berhala kosong yang dipuja oleh elite, sementara rakyat semakin teralienasi.

Diamnya warga Jakarta adalah suara. Keheningan mereka adalah protes. Sebuah penentangan terhadap sistem yang lebih mementingkan kekuasaan daripada rakyatnya.

Ketika demokrasi kehilangan jiwanya, rakyat mencari cara lain untuk bersuara. Dan dalam keheningan itu, mereka berharap ada yang mendengar. “Within the sound of silence.” ?

Jakarta, 9 Desember 2024

Dikdik Sadikin, Kolumnis