(Dalam dua kasus yang berbeda. Pembunuhan Yosua dan Pameran Lukisan Yos Suprapto).
Kasus pembunuhan Yosua oleh Sambo membuat Irma Natalia Hutabarat berang.
Dia berteriak di semua stasiun televisi. Kemudian Irma membuat inisiatif. Irma mau buat acara di Taman Ismail Marzuki. Menyalakan Lilin dan Orasi terkait pembunuhan Yosua Hutabarat. Dia menghubungi pihak Jakpro untuk mendapat ijin, yang kemudian berusaha menghindar untuk memberi izin. (Berputar-putar mencari alasan).
Irma menghubungi saya, mengeluh terhadap situasi yang terjadi. Lalu saya katakan kepada Irma: Bilang sama mereka (Direksi Jakpro). Bahwa kamu sudah koordinasi dengan saya. TIM itu dari zaman dulunya sudah menjadi ruang ekspresi.
Bahkan di jaman Soeharto sekalipun TIM menjadi panggung berekspresi para seniman dengan beragam acara yang selalu kritis kepada penguasa.
Kalau mereka takut memberi izin kegiatan kamu itu, katakan kepada mereka (Direksi Jakpro).
Enggak usah jadi Direksi. Buka warung saja di rumah bareng bini. Ngapain jadi Direksi kalau tak punya nyali, tak berani mengambil resiko untuk hal semacam itu.
Irma Natalia: Oke, aku sampaikan ke mereka ya (Jakpro), kalau kamu Geis katakan seperti itu.
Saya menjawab: Iya, sampaikan saja apa adanya pesan saya itu.
Kejadian seperti itu menurut saya tak perlu pula harus melapor kepada Gubernur Anies Baswedan. Karena saya paham bagaimana cara berpikir Anies Baswedan yang mantan aktivis itu tentang keadilan. Tentang ruang berekspresi dan menjaga demokrasi. Tentang menjaga moral dan memfasilitasi publik berkreasi. Bahkan bila yang yang dikritisi adalah dirinya sendiri, Anies akan tetap memfasilitasinya.
Lalu pihak Jakpro mengkonfirmasi kepada saya tentang permohonan acara yang akan dibuat oleh Irma Natalia Hutabarat. (Mima Irma Hutabarat,) dengan lugas saya katakan: Ijinkan saja.
Pak Anies tak akan melarang hal semacam itu.
Lalu acara berkabung dengan agenda menyalakan lilin dan orasi bersama ratusan orang terkait pembunuhan Yosua terselenggara.
Di zaman mahasiswa, di masa menjadi aktifis HMI. Saya muak dengan proses perijinan yang ngejelimet, untuk acara-acara yang bersifat kritis yang dulu sama-sama kita tentang sikap birokrasi semacam itu.
Kini kementrian kebudayaan di pimpin oleh mantan Aktifis. Fadli Zon namanya. Seorang yang kritis di masa Jokowi berkuasa. Dia juga faham tentang demokrasi, paham tentang kebudayaan, paham tentang ruang ekspresi berkesenian.
Galeri Nasional yang berada di bawah otoritas Menteri Kebudayaan. akan dilangsungkan pameran lukisan oleh Yos Suprapto. Pameran Lukisan itu menjelang hari pelaksaan.
Lima lukisannya tak boleh dipajang karena dianggap terlalu vulgar dalam melukiskan realitas yang terjadi. Sang seniman menolak.
Lalu Galeri Nasional dikunci dan lampu dipadamkan. Pameran lukisan itu batal terselenggara.
Kementrian Kebudayaan yang dipimpin oleh mantan aktifis sekaliber Fadli Zon. Tak mengijinkan pameran lukisan itu terselenggara. Entah dengan alasan apa.
Saya cuma punya satu kata. Kata itu bernama: Prihatin.
https://www.facebook.com/share/p/15PvmeCLGM/?mibextid=wwXIfr
Geisz Chalifah, Kolumnis