Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang baru saja usai tampaknya masih menarik perhatian dan perbincangan hangat di masyarakat. Meskipun telah usai, dinamika pemilihan tersebut tetap menyisakan kritik tajam sekaligus harapan masyarakat akan keberlanjutan janji-janji paslon yang menang.
Namun, ada yang menarik di Pilkada Jakarta tahun ini. Sebuah fenomena mencuat dimana angka golongan putih (golput) menempati posisi yang paling tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Artinya banyak masyarakat yang memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya pada hari pencoblosan.
Sebagai gambaran, dalam pilkada 2017, angka golput pada saat itu hanya sekitar 22,9 persen dari total pemilih sebanyak 7.218.272. Angka ini turun jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 33,2 persen pada 2012.
Namun di 2024, data yang ada cukup mengejutkan, menunjukkan situasi yang memprihatinkan dalam perpolitikan Jakarta, dimana warga yang melakukan abstention voting mencapai 3.489.614 orang (42,48 %) dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau 8.214.007 orang. Sedangkan jumlah pengguna hak suara sebanyak 4.724.393 orang (57,52 %).
Disisi lain, angka invalid voting atau suara tidak sah juga meningkat signifikan dari Pilkada 2017 atau Pilpres 2024, yaitu mencapai 363.764 suara (7,69 % dari pengguna hak suara). Jika diamati, jumlah suara ini melebihi suara Pramono Anung-Rano Karno (2.183.239 orang), Ridwan Kamil-Suswono (1.718.160 orang), apalagi Dharma Pongrekun-Kun Wardhana (459.230 orang).
Angka ini merupakan angka tertinggi golput sepanjang perjalanan Pilkada di Jakarta. Tentu ini menjadi perhatian banyak pihak mengingat kota sebesar Jakarta seringkali menjadi barometer politik nasional. Selain itu, angka kemenangan golput yang berada di atas semua kandidat tampaknya semakin mempertegas bahwa pemenang pilkada Jakarta tahun ini adalah warga dengan pilihan ‘golput’.
Namun dibalik itu semua, muncul pertanyaan mendasar, mengapa hal tersebut bisa terjadi?. Meskipun golput bukanlah hal yang baru di Indonesia, tingginya angka golput di Pilkada Jakarta tahun 2024 telah menunjukkan cermin dari dinamika politik yang kompleks di ibu kota.
Jika dianalisis lebih dalam, alasan dibalik golput tersebut terjadi bukan hanya karena sebagian masyarakat apatis terhadap politik, namun terdapat narasi bahwa masyarakat “kecewa” terhadap calon-calon yang diusung. Banyak masyarakat merasa bahwa pilihan calon kepala daerah tidak mewakili aspirasi mereka. Kandidat yang diusung dianggap tidak membawa visi dan misi yang signifikan untuk menjawab permasalahan Jakarta, seperti kemacetan, banjir, dan tata kota.
Dalam konteks Jakarta, menurut beberapa analisis pengamat, pilihan masyarakat pada umumnya masih mengerucut pada sosok Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dua tokoh inilah yang sampai saat ini dinilai mampu mengatasi masalah di Jakarta yang complicated.
Kita ambil case kotak kosong yang terjadi di Bangka misalnya, pemenangan kotak kosong tersebut paling tidak didasari oleh beberapa alasan menurut Dosen Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung (UBB) Novendra Hidayat. Pertama, karena adanya faktor politis, dimana tidak adanya pilihan kandidat lain yang ideal yang bisa dipilih. Kedua, faktor sosial yang membuat masyarakat semakin sadar akan hak pilih mereka dan merasa tidak ingin memilih kandidat yang tidak sesuai dengan keinginan dan yang ketiga yakni kinerja pemerintah yang acapkali tidak mampu menyelesaikan banyak permasalahan nyata di masyarakat.
Jika kita tarik pada kondisi Jakarta, analisis di atas tampaknya juga selaras dengan apa yang terjadi. Apalagi masyarakat Jakarta sebagai kelas menengah ke atas, dianggap sudah punya daya kritis yang lebih tinggi dalam menilai setiap kandidat yang ada, sehingga saat tidak adanya alternatif pilihan kandidat calon yang yang sesuai dengan preferensi masyarakat Jakarta, maka angka golput lah yang menjadi menduduki peringkat teratas.
Fenomena ini bukanlah kondisi yang bisa dianggap biasa saja, sebab tingginya angka golput tentu memiliki dampak serius terhadap kualitas demokrasi ke depan. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang bagi masyarakat untuk menentukan arah pembangunan daerah justru kehilangan legitimasi jika banyak warga memilih untuk tidak berpartisipasi. Disisi lain hal ini juga mencerminkan turunnya kepercayaan publik terhadap sistem politik dan pemerintahan.
Dalam konteks Jakarta sebagai ibu kota negara, angka golput yang tinggi menjadi indikator bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan publik dan pendekatan politik secara keseluruhan. Jika fenomena ini terus berlanjut, dikhawatirkan ke depan akan mempengaruhi stabilitas demokrasi di Indonesia.
Tentu, fenomena ini bukan sekadar angka statistik semata, tetapi menjadi sebuah pesan dari masyarakat yang merasa suaranya tidak lagi bermakna. Selain itu, tampaknya kita mulai kehilangan sosok tokoh yang ideal dan bisa dipercaya masyarakat. Ini menjadi pengingat bagi semua pihak, terutama pemimpin dan pembuat kebijakan, untuk lebih mendengarkan aspirasi publik serta siap menghadirkan figur-figur yang tidak hanya kompeten, tetapi juga berintegritas, sehingga kepercayaan publik bisa pulih kembali.
Chozin Amirullah, Kolumnis