Panggung politik Indonesia tak henti menyala. Belum lagi usai cerita PKS akan “bergabung” ke partai Koalisi Indonesia Maju (KIM), publik dikejutkan dengan mundurnya Airlangga Hartarto dari Ketua Umum Partai Golkar (PG) secara tiba-tiba. Ada apa? Padahal di bawah komando Airlangga, Golkar memperoleh suara cukup signifikan di Pemilu 2024 dan tetap bertengger sebagai partai papan atas. Benarkah Airlangga mundur secara suka rela atau dipaksa mundur? Kalaupun ingin mundur akan lebih elegan bila Airlangga mundur pada saat Munas atau Munaslub Golkar dan tidak mundur di tengah jalan.
Menurut saya, cerita tentang PKS akan “bergabung” ke KIM, tak kurang menariknya. Bahkan, mungkin lebih seksi ketimbang suksesi kepemimpinan di Golkar yang diendus banyak pihak santer bau-bau keterlibatan istananya. Karena setiap mata, lawan maupun kawan akan menunggu seperti apa ending cerita PKS ini. Akankah bergabung ke KIM atau tetap berlayar bersama Anies Baswedan (ABW).
Kok bisa lebih seksi? Seksilah, bagaimana nggak seksi karena hal ini menandakan babak baru relasi politik yang terbangun antara PKS dan ABW. Sejak Pilgub 2017 hingga Pilres 2024, relasi yang terbangun antara PKS dan ABW teman seiring, sejalan. Namun, kini mulai sedikit “retak”. Pastinya, bila “pecah kongsi” terjadi, maka ada yang bakal menangguk keuntungan politik dari perpecahan ini.
Seretak apakah relasi antara PKS-ABW terjadi? Seperti halnya banyak orang, saya juga berharap tidak ada yang retak. Tidak ada yang patah. Apalagi harus pecah kongsi. Hubungan antara PKS-ABW, semoga tetap baik-baik saja. Tetap menjadi teman seiring, seperjuangan, dan dapat berlayar dalam kontestasi Pilgub Jakarta 2024.
PKS membuka komunikasi politik dengan KIM pertanda akan bergabung ke KIM. Tidak juga. Toh baru sekadar membuka komunikasi politik. Belum ada deal politik apa-apa. Siapa dapat apa, belum ada. Terlebih lagi di panggung politik, komunikasi adalah hal lumrah dan merupakan seni dalam berpolitik. Partai politik yang lihai dalam berkomunikasi, niscaya berpeluang lebih dominan.
Karenanya, terlalu dini menuding PKS tidak konsisten hanya gara-gara membuka komunikasi dengan KIM. Atau menuduh lari meninggalkan Anies. Ada lagi yang bilang ideologi PKS telah bergeser ke arah pragmatisme kekuasaan. Atau menghakimi PKS dengan menyebut sebagai partai dakwah telah surut ke belakang. Ya, boleh-boleh saja sih, tapi absurd.
PKS adalah partai politik yang mengusung Anies di Pilgub DKI 2017. Saat itu, partai “orange” ini rela menarik pencalonan kadernya Mardani Ali Sera untuk memuluskan langkah Anies menjadi gubernur Jakarta. Selama menjadi gubernur, PKS pula satu-satunya partai yang setia mengawal dan membela setiap kebijakan Anies sampai Anies mengakhiri jabatan gubernur dengan manis.
Di Pilpres, berkoaliisi dengan Nasdem dan PKB, PKS kembali mengusung Anies menjadi calon presiden. Seakan tak pernah kapok, di Pilgub 2024 ini, PKS lagi-lagi mengusung Anies sebagai calon gubernur. Namun, kali ini PKS memunculkan kadernya Mohammad Sohibul Iman (MSI) sebagai calon wakil gubernur mendampingi Anies.
Boleh dibilang, apa saja telah diberikan PKS untuk Anies. Dukungan, suara, militansi kader, tenaga, pikiran, bahkan mesin politik partai telah disumbangsihkan PKS untuk Anies. Tidak ada lagi yang tersisa dari PKS. Semua sumber daya PKS telah diberikan kepada Anies.
PKS hanya menempatkan kadernya Mohammad Sohibul Iman (MSI) sebagai calon wakil gubernur. Kemudian, meminta Anies untuk menggenapkan kekurangan 4 kursi DPRD dari 18 kursi DPRD yang dimiliki PKS agar pasangan AMAN dapat mendaftarkan diri ke KPUD pada tanggal 27-29 Agustus 2024. Sehingga AMAN benar-benar aman berlayar mengikuti kontestasi elektoral Pilgub Jakarta 2024.
Menambah 4 kursi. Ya menambah 4 kursi saja. Hanya itu permintaan PKS kepada Anies agar pasangan AMAN dapat berlayar. Bila PKS telah memberikan semua sumber dayanya, termasuk mesin politik dan 18 kursi DPRD, apakah menggenapkan 4 kursi DPRD begitu berat bagi Anies? Seharusnya sih, tidak.
Namun, mengapa tambahan 4 kursi tak kunjung dipenuhi Anies? Apa karena PKS mengunci calon wakil gubernur harus dari PKS? Yang harus dipahami Anies bukanlah kader PKS. Sebagai partai peraih kursi terbanyak DPRD Jakarta, sah-sah saja bila PKS mengusung kadernya, yaitu MSI sebagai calon wakil gubernur. Dan kehadiran kader PKS mengkuti kontestasi Pilgub Jakarta, selain untuk menambah semangat juang mesin politik partai juga sebagai bentuk tanggung jawab PKS terhadap konstituen pemilihnya. Selain itu, berlaganya kader PKS sebagai calon wakil gubernur bertujuan pula untuk memastikan aspirasi warga Jakarta, terutama para pemilih PKS tertunaikan dengan baik.
Karena itu, seyogianya Anies lebih gesit bergerak. Bermodal kedekatannya dengan sejumlah tokoh partai politik, seperti Surya Paloh, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan lainnya, seyogianya Anies dapat menyakinkan mereka untuk segera bergabung mengusung pasangan AMAN. Dengan tambahan suara dari Nasdem, PKB pasangan AMAN aman berlayar mengarungi kontestasi Pilgub Jakarta.
Terlebih lagi, bila Anies menganggap bahwa PKS sebagai “Cinta Sejati”nya selama ini, maka menggenapkan 4 kursi rasa-rasanya tidaklah terlalu sulit dipenuhi. Karena tidak ada yang sulit ditunaikan untuk “Sang Cinta Sejati”. Bila pasangannya telah banyak berkorban, maka sudah sepantasnya ia juga rela berkorban untuk kepentingan pasangannya.
Karena pasangannya telah memberikan segalanya, maka seyogianya dia sedapat mungkin berusaha memenuhi permintaan pasangannya tersebut. Dan berupaya sekuat mungkin agar pasangan sejatinya tersebut, tidak kecewa. Hal ini perlu dilakukan agar Cinta Sejati, tidak bertepuk sebelah tangan. (*)
Rivai Hutapea, alumnus FH Universitas Gadjah Mada