
Oleh: Jan Mealino Ekklesia *)
Amuk massa (riot) bukanlah sikap baru bagi bangsa ini. Ia telah menyejarah dalam tiap rezim. Peristiwa Tritura (tri tuntutan rakyat) 10 Januari 1966 pada orde lama, kemudian Mei 1998, ketika empat Mahasiswa Trisakti tewas dibunuh oleh TNI, hingga Agustus 2025 yang menelan beberapa korban jiwa. Salah satu di antaranya adalah Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojek daring yang tewas dilindas mobil rantis Brimob (28/8/2025).
Jatuhnya korban jiwa bukan semata-mata penyebab huru-hara berdarah di kemudian hari, melainkan kulminasi atas arogansi Aparat Penegak Hukum (APH) dalam mengamankan masyarakat. Istilah mengamankan pun terkesan lucu, tampak aparat seolah-olah (dan memang) mengamankan rezim dibanding hadir untuk masyarakat.
Di sisi lain, rakyat dibuat jengkel dan muak oleh sikap elitis pejabat. Demo besar yang terjadi sejak Senin (25/8/2025) memang ditujukan untuk menghardik elit. Rakyat merasa perlu menyadarkan mereka atas buruknya tata kelola pemerintahan dan kegagalan membangun komunikasi politik yang baik. Demonstrasi adalah corong suara itu.
Sikap para pejabat menggerus kepercayaan rakyat. Nir empati, gaya feodal- patrimonial, dan oligarkis merupakan ciri umum pejabat kita. Sebagian dari mereka mereka tak benar-benar bersama rakyat, jauh duduk dalam singgasana yang nyaman. Bupati bertitah melawan rakyat, anggota dewan bersikap acuh, pemimpin meriak ucap olok-olok publik, dan ajang berjoget-joget riang tak kenal ruang. Apa maksud dari mental orang tolol sedunia, jika maksudnya untuk menasihati mereka yang bermental bubarkan DPR?
Apa tujuannya? Apakah untuk mengedukasi dan menasihati rakyat, atau stigmatisasi untuk mendelegitimasi oposisi? Toh, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa rakyat justru menangkap sinyal penghinaan besar sehingga memicu demonstrasi. Pejabat kita selalu lebih pandai menggurui daripada berempati, boro-boro menjadikannya aksi.
Tunjangan tinggi bagi anggota DPR dan sejumlah pejabat publik—lagi-lagi kebijakan nirempati—tentu menyentak sanubari kita. Bagaimana tidak? Dengan gap 27 kali rata-rata UMR Indonesia dan di tengah frustasi ekonomi yang mengguncang kelas sosial, para anggota dewan betul-betul berdiri di atas penderitaan rakyat. Itu pun tak dibarengi dengan kinerja profesional, transparan, dan akuntabel, serta—lagi-lagi penyakit pemerintah kita—kebiasaan komunikasi retoris nan revisionis: pernyataan- klarifikasi-pernyataan-klarifikasi.
Tujuan demonstrasi yang terjadi, baik fisik maupun digital, melahirkan 17+8 Tuntutan Rakyat. Oleh para influencer digital, tuntutan dalam waktu relatif singkat yang ditujukan untuk Presiden, DPR, Partai Politik, Polri, TNI, dan Kementerian sektor ekonomi itu pada intinya merujuk pada tiga hal: transparansi, empati, dan reformasi.
Konflik Dua Arus: Pandangan Machiavelli
Hingga Bulan September, jumlah korban tewas mencapai tujuh orang. Empat rumah pejabat habis dijarah. Ribuan orang ditahan imbas aksi huru-hara dan vandalis. Puluhan fasilitas publik dan markas polisi di berbagai tempat dirusak dan dibakar massa. Kepercayaan publik menurun drastis. Disinformasi, hoax, polarisasi digital, dan misinformasi merajalela.
Provokator dianggap mengambil alih gerakan rakyat yang murni itu. Suara bising tembakan di mana-mana. Represi polisi terhadap jurnalis. Nakes berjibaku menolong mereka yang terluka akibat gas air mata. Kampus-kampus dan tempat aman malahan jadi tempat penyisiran aparat. Masih banyak lagi peristiwa memilukan yang jauh dari keberpihakan negara.
Machiavelli (1469-1527), sang diplomat Italia sekaligus filsuf politik, telah menulis diskursus panjang mengenai Republik dan dinamika di dalamnya. Saya melihat perlunya mengangkat dua pertanyaan penting.
Pertama, apa yang pejabat (dalam hal ini penguasa) lakukan terhadap rakyat? Di dalam hal ini pejabat perlu memahami posisi sebagai pemimpin. Machiavelli menyatakan, rakyat tanpa pemimpin tidak efektif. Maksudnya, fungsi pemimpin adalah untuk mengartikulasi keinginan rakyat.
Machiavelli menyatakan: Sebuah kerumunan massa tanpa pemimpin tidak punya efektivitas politik. Mereka bisa marah, tetapi tidak dapat bertindak terorganisir atau menyampaikan tuntutan yang sah (Bab. XLIV, hal.134).
Jelas, maksudnya bukan meniadakan konflik yang muncul dari rakyat terhadap penguasa. Tetapi melalui mekanisme kepemimpinan dan penegakan hukum yang adil agar suara rakyat menjadi sah karena dijamin dan dijalankan melalui prosedur hukum.
Terlebih lagi, penguasa tidak boleh takut pada teriakan massa. Lebih baik bagi penguasa untuk mengelola konflik agar menjadi sumber hukum yang sehat, daripada menutupinya dan membiarkan rakyat mencari pelampiasan liar. Penguasa harus segera merespons tuntutan dengan seksama dan mulai memperbaiki sistem.
Kedua, berkaitan dengan bagaimana rakyat bersikap terhadap penguasa? Machiavelli menegaskan bahwa rakyat pada dasarnya memiliki kebijaksanaan dan stabilitas yang lebih besar dibandingkan elite politik.
Machiavelli berpendapat bahwa rakyat lebih bijak, lebih sabar, dan lebih tepat dalam menilai keadaan daripada para penguasa. Tidak tanpa alasan suara rakyat sering disamakan dengan suara Tuhan (Vox populi, vox dei), sebab opini masyarakat memiliki kekuatan luar biasa dalam memprediksi, seolah-olah mereka mampu meramalkan nasib baik dan buruk yang akan menimpa diri mereka sendiri melalui suatu intuisi kolektif.
Pandangan tersebut semakin menguat ketika dikaitkan dengan praktik pemilihan pejabat publik. Rakyat, menurut Machiavelli, justru lebih bijak dalam menentukan pilihan daripada penguasa.
Alasannya jelas, karena hampir mustahil membujuk rakyat untuk memberikan kepercayaan kepada seseorang yang bertabiat korup dan inkompeten (kecuali karena sogokan dan kebohongan), sedangkan penguasa dapat dengan mudah dipengaruhi dan tergoda untuk mengangkat individu yang cacat moral melalui berbagai cara.
Dengan kata lain, dalam urusan penilaian maupun dalam memilih pemimpin pun, suara rakyat sering kali lebih dapat diandalkan daripada keputusan penguasa.
Dilema-Dilema Moral: Membaca Massa
Mari kita kembali memahami dua hal ini: amuk massa dan alasan kemarahan publik.
Pertama, peristiwa sejak 28 Agustus adalah satu dari sekian amuk massa yang berujung pada vandalisme, dan penjarahan. Siapa yang melakukannya? Hal itu dapat diperdebatkan. Tetapi tuntutannya jelas: memecut hati nurani pemerintah agar sadar hadir bagi rakyat dan mengungkap sikap represif aparat yang kebablasan itu.
Mari kita urai. Gustave Le Bon (1841-1931), seorang psikolog sosial telah membaca pola masyarakat dan mengatakan bahwa ketika masyarakat bertindak secara kolektif (entah itu demo, anarkisme, maupun praktik vandalis), pengaruh luar biasa dari sikap kolektif tersebut menurunkan keputusan moral pribadi.
Pikiran individu berubah menjadi pikiran kolektif, sehingga apa yang baik seharusnya dilakukan menurut penilaian individu, terganti oleh penilaian kolektif sesaat.
Sehingga orang lebih rentan terhadap pengaruh tak sadar itu (mis. terbawa arus; bandwagon effect) (Le Bon, 1894). Sebagaimana Machiavelli menulis: Ketika bersatu rakyat kuat, tapi ketika masing-masing orang kemudian mulai berpikir tentang bahaya yang dihadapinya, mereka mulai kecut dan lemah (Machiavelli, 1950).
Hanya saja, gerakan sosial saat ini dikomando secara teratur, lahir dari gerakan intelektual serta massa yang ingin perubahan, jauh dari agenda irasional dan sikap spontan (Johnston, 2014).
Maka ketika huru-hara terjadi, dapat dimungkinkan alasan-alasan berikut: (1) lambatnya pemerintah merespons; (2) tindakan represif aparat penegak hukum (polisi, TNI) sehingga memicu spiral konfrontasi; dan (3) sub kelompok sebagai provokator yang telah direncanakan untuk melancarkan aksi vandalis atau tugas tertentu (riding the wave) (Johnston & Seferiades, 2012).
Ketika perilaku kolektif telah dibajak oleh irasonalitas dan agenda tertentu, maka mudah saja massa menjadi irasional dan rentan terhadap perilaku kejahatan yang tentu berkebalikan dari tujuan semula.
Kemudian tentang kemarahan publik. Mengapa publik marah atau bahkan harus marah? Dua dari tiga alasan dapat menjadi poin penting. Aksi demonstrasi adalah ekspresi demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.
Masalahnya, sebagian besar pernyataan pemerintah, terutama presiden, mengandung bahasa yang sulit dibaca sebagai ketulusan. Lagi-lagi, masalah komunikasi politik dan kecerdasan sosial. Wacana optimisme nasionalistik memang baik, tetapi lama-kelamaan menjadikannya bias dan penuh kontradiksi.
Virginia Held dalam bukunya Rights and Goods (1984) jelas mengungkap bahwa negara yang relatif terbuka bagi diskusi, kritik, dan pengaruh yang mengarah ke perubahan adalah jauh lebih layak diterima daripada negara yang tertutup bagi hal-hal semacam itu.
Kita memiliki harapan akan adanya perbaikan dan memiliki peluang untuk berpatisipasi dalam arus perbaikan maupun perubahan itu. Demonstrasi berhari-hari jelas dapat diartikan sebagai menerima negara itu pada tingkatan yang lebih dalam atau lebih tinggi, bahkan menerima negara secara keseluruhan. Mengubah negara dengan demonstrasi, protes, kampanye, atau gerakan sosial semacam itu tidak lah melanggar hukum.
Pembangkangan sipil yang diarahkan pada keputusan-keputusan undang-undang maupun kebijakan-kebijakan politik ini sepenuh-penuhnya didasarkan pada imbauan moral para penguasa. Negara harus mendengar tuntutan rakyat—yang selama ini terkesan angin lalu tanpa transparansi dan empati—sehingga rakyat merasa perlu bertindak masif, jika perlu, menyentil dengan keras.
Dengan demikian, pantaskah rakyat marah? Jika pada akhirnya hanya tinggal tubuh dan suara parau untuk menuntut penguasa, memang layak jika rakyat (harus) marah.
*) Penulis adalah Pendiri Gema Politik Indonesia