Dalam kancah politik Indonesia hari ini, saingan Joko Widodo alias Mulyono hanya dua orang: Anies dan Ahok. Dan keduanya, setidaknya secara formal, telah masuk kotak. Dengan tidak masuknya kedua figur tersebut dalam kontestasi pilkada besok, Raja Mulyono akan terus menggunakan pengaruhnya terhadap jalannya pemerintahan Prabowo--apapun dan bagaimanapun caranya.
Kemampuan Mulyono dalam menyetop Anies dan Ahok sungguh luar biasa, hampir tidak mungkin mampu dilakukan oleh politisi lainnya, bahkan termasuk oleh mantan Presiden SBY. Mulyono bertindak dengan kerangka yang tidak pernah dilakukan oleh elit republik ini sebelumnya. Kalau orang seperti Denny Siregar dulu suka menyebut langkah-langkah Mulyono seperti pemain catur, bagi saya Pak Mul memang berpikir di luar apa yang digariskan oleh norma-norma negara-bangsa modern. Dia mengembalikan republik ke dalam sistem kerajaan--meski namanya atau bungkusnya tetap bernama NKRI harga mati.
Akan tetapi, untungnya bagi Pak Mul, masih banyak warga republik yang juga berpikir dalam epistemologi kerajaan. Pak Mul dengan intuisi alamiahnya mengetahui itu dan memanfaatkannya. Sedemikian rupa Pak Mul menyelenggarakan negara teater--kalau dalam istilah Geertz--yang bisa ditonton dan dinikmati oleh warga kerajaan Indonesia tercinta. Pak Mul mengikuti Pak Harto, tetapi dalam kemasan yang lebih halus dan canggih.
Tidak hanya mengembalikan republik ke dalam sistem kerajaan, Pak Mul juga mengembangkan epistemologi kolonial ini: pemisahan antara Islam atau pribumi di satu sisi dan nasionalisme atau kebhinekaan di sisi lainnya. Dua entitas tersebut dibuat berjarak, sehingga selalu terlihat bertentangan, tidak bisa diintegrasikan. Meski secara resmi Pak Mul mendukung usaha-usaha moderasi untuk mempertemukan keduanya, kenyataannya secara diam-diam beliau melanggengkan pemisahannya. Bukankah kemarin beliau pernah bilang tidak nyaman tinggal di istana yang berbau kolonial?--sebuah retorika yang sejatinya menunjuk dirinya sendiri.
Sementara itu, Anies dan Ahok pernah melakukan kesalahan performatif yang membuat mereka sulit melampaui operasi kekuasaan Pak Mul yang amat sangat antropologis itu. Anies pernah berpidato yang dianggap rasialis, demikian pula Ahok pada masa jayanya tampak arogan dan mengatakan sesuatu yang dianggap menodai umat. Kesalahan ini lagi-lagi digunakan secara baik oleh Pak Mul untuk mencegah keduanya masuk kembali ke atas panggung kekuasaan.
Operasi kekuasaan Pak Mul agak sulit dipahami oleh sebagian kelas menengah kita yang berpikir dalam kerangka etis-normatif tertentu--sesuatu yang ditinggalkan oleh Pak Mul. Kelas menengah kita masih membayangkan politik bekerja sebagaimana dituliskan dalam buku "Dasar-Dasar Ilmu Politik" Miriam Budiarjo atau "Etika -Politik" Franz Magnis-Suseno. Sementara Pak Mul tidak membaca itu atau mungkin membacanya tetapi peduli, kelas menengah kita terus menerus bermimpi negara-bangsa modern Indonesia seharusnya bekerja dalam kerangka etis-normatif tertentu itu.
Ini terlihat dari, misalnya, kepercayaan kelas menengah kita terhadap peran partai politik sebagai pilar demokrasi yang paling penting. Oleh karena itu, ketika Anies gagal maju pilkada, mereka bilang itu terjadi karena kejumawaan Anies yang tidak mau ikut partai politik. Namun mereka lupa bahwa Ahok yang ikut partai politik pun sama-sama gagal maju pilkada, bukan? Kelas menengah kita juga lupa bahwa bagi Pak Mul partai politik adalah instrumen kekuasaan belaka, bukan pilar demokrasi. Oleh karena itu, di bawah pemerintahannya partai politik diacak-acak tidak karuan, mengabaikan tatanan.
Singkatnya, Pak Mul mengembalikan makna kekuasaan ke dalam pengertiannya yang paling purba, ke era sebelum tata-negara. Ironisnya, sementara Pak Mul melenggang tanpa saingan, para pecinta Anies dan Ahok yang merupakan bagian inti kelas kelas menengah kita meneruskan perseteruan untuk memperebutkan apa yang dianggapnya paling etis dan paling normatif. Di sana Pak Mul tertawa terbahak-bahak, emang gue pikirin!
Amin Mudzakkir, peneliti dan akademisi