Politik di Indonesia ibarat sebuah panggung teater yang penuh dengan intrik dan permainan. Di sana, aktor-aktor utama sering kali terjebak dalam naskah yang telah ditulis oleh kekuatan-kekuatan yang tak terlihat. Anies Baswedan, sosok yang pernah menjadi bintang di pentas Gubernur DKI Jakarta, kini berada di persimpangan jalan. Ketika sebuah sistem politik mulai merentangkan jaraknya dari keadilan, mereka yang melawan arus sering kali menjadi korban dari kekuatan yang lebih besar. Nelson Mandela pernah mengatakan, "When a man is denied the right to live the life he believes in, he has no choice but to become an outlaw." Anies, meskipun bukan seorang pemberontak dalam arti harfiah, tampaknya mulai bergerak di tepi-tepi sistem politik yang meminggirkannya. Dalam narasi besar politik Indonesia, ia seperti tokoh dalam Hamlet karya Shakespeare: terjepit antara kekuasaan yang curang dan tekad untuk tidak terjebak dalam permainan kotor yang sama.
Jika Anies benar-benar dijegal dalam dua kontestasi besar politik terakhir—Pilpres dan Pilkada Jakarta—maka efeknya bisa jauh lebih besar dari sekadar kegagalan pribadi. Ia akan menjadi simbol dari apa yang disebut Machiavelli sebagai “the prince who is not destined to rule”—pemimpin yang dipersiapkan oleh rakyatnya, namun dibatasi oleh kekuatan politik yang bermain di belakang layar. Mungkin saja, penjegalan ini bukan meredupkan karier politik Anies, tetapi justru membesarkan figurnya dalam imajinasi publik. Terlihat dalam berbagai survei elektabilitas untuk Pilkada Jakarta, Anies tetap berada di puncak. Ia menempati posisi teratas sebagai calon yang paling diinginkan oleh masyarakat Jakarta untuk kembali memimpin kota.
Namun, ketika kekuatan politik yang tak terlihat menyingkirkannya dari kontestasi, sesuatu yang ironis terjadi: di Pilkada Jakarta itu para kontestan lain justru berebut mencuri kharismanya. Mereka mencoba tampil seolah-olah merekalah yang mewakili semangat Anies. Sebuah upaya yang menggelikan, tetapi sekaligus mencerminkan betapa besar bayangan yang ditinggalkan Anies di panggung politik Jakarta.
Hal ini mengingatkan kita pada bagaimana sosok-sosok karismatik dalam sejarah sering kali diikuti oleh bayangannya, bahkan ketika mereka tak lagi memiliki panggung resmi. Di Prancis, ada sosok Jean-Luc Mélenchon, seorang politisi kiri yang meskipun berulang kali kalah dalam pemilihan presiden, tetap menjadi simbol oposisi yang keras terhadap establishment. Kekalahannya dalam berbagai pemilihan tak menghentikan gerakannya, justru semakin memperkuat citranya sebagai pembela kaum yang tertindas oleh sistem politik yang tidak adil. Seperti Anies, yang meskipun dijegal, kharismanya tetap menghantui panggung politik, membuat lawan-lawan politiknya berebutan untuk menjadi "Anies berikutnya."
Analogi yang lebih dekat adalah Megawati Soekarnoputri. Pada masa Orde Baru, Megawati dianiaya secara politik, dibungkam, dan dikebiri hak-hak politiknya oleh rezim berkuasa saat itu. Namun, penindasan ini justru membuatnya melambung tinggi. Ia tak lagi hanya menjadi putri dari Presiden pertama Indonesia, tetapi simbol perlawanan terhadap otoritarianisme. Masyarakat yang kecewa dengan rezim saat itu mulai mengidentifikasi dirinya dengan Megawati, yang mereka anggap sebagai korban ketidakadilan politik. Ironi terjadi ketika penjegalan justru menjadi bahan bakar bagi kebangkitan Megawati di kancah politik pasca-reformasi.
Anies barangkali bisa bernasib sama dengan Megawati, yang meski dijauhkan dari kekuasaan pada masa Orde Baru, justru mendapatkan dukungan moral yang kian menguat dari rakyat. Dalam politik, penindasan sering kali menghasilkan kebangkitan yang lebih besar—sebuah paradoks yang terus berulang dalam sejarah.
Sementara itu, Politik Indonesia memang memiliki sejarah panjang tentang bagaimana figur-figur yang tak pernah mencapai kursi kekuasaan tertinggi tetap hidup dalam imajinasi kolektif. Bung Hatta, misalnya, meskipun tidak pernah menjadi presiden, tetap dihormati sebagai figur pemikir besar yang etika dan integritasnya menjauhkan dirinya dari pusat kekuasaan. Anies mungkin sedang menapaki jalan yang sama: dijegal dalam permainan politik praktis, tetapi diselamatkan dalam narasi yang lebih besar—narasi tentang perlawanan terhadap kekuasaan yang curang.
Namun, apakah Anies akan memilih jalan ini? Atau ia akan mencoba beradaptasi, seperti kata Machiavelli, “One who adapts his policy to the times will prosper, and likewise, one who does not will fail.” Dalam dunia politik yang berubah-ubah, adaptasi menjadi kunci bagi mereka yang ingin tetap relevan. Jika Anies memilih bertahan, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia tak lagi bermain di panggung politik yang bersih. Bagaimanapun, ia telah terjun ke medan politik di mana aturan permainan tak selalu adil.
Di Amerika Serikat, kita melihat bagaimana Al Gore, meskipun dicurangi dalam Pilpres 2000 oleh putusan Mahkamah Agung yang mendukung George W. Bush, ia memilih jalan lain setelah kekalahannya. Alih-alih tenggelam dalam kekecewaan, Gore memilih menjadi ikon global dalam isu lingkungan. Ia menemukan platform baru di luar panggung politik formal. Barangkali, Anies juga akan menemukan jalannya sendiri—tidak lagi hanya sebagai politisi, tetapi sebagai simbol yang lebih besar dalam isu pendidikan, pluralisme, atau bahkan reformasi birokrasi yang selama ini ia suarakan.
Dalam politik, kekalahan bukanlah akhir. Justru dari kekalahan, banyak pemimpin besar menemukan jalur baru yang lebih berpengaruh. Winston Churchill, yang kalah dalam pemilihan setelah Perang Dunia II meskipun dianggap pahlawan, tetap kembali ke panggung politik beberapa tahun kemudian. Kekalahan, bagi mereka yang melihatnya dengan kacamata sejarah, hanyalah salah satu babak dari permainan panjang kekuasaan.
Seperti perahu yang terjebak di antara badai laut, Anies Baswedan kini berada di antara kekuatan-kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Mungkin saja ia tidak akan mencapai dermaga yang ia harapkan. Barangkali juga ia akan terus dijegal, didorong menjauh dari panggung politik. Tetapi, ada kekuatan yang tak bisa dijegal oleh siapa pun: gagasan dan harapan yang ia bawa. Seperti kata Victor Hugo, “No army can stop an idea whose time has come.”
Di sini, bayangan pengaruh Anies tidak bisa dihalangi. Bergerak di balik layar, mempengaruhi wacana, dan mungkin, suatu hari nanti, sejarah akan berpihak padanya. Atau seperti kata Gramsci, "The old world is dying, and the new world struggles to be born: now is the time of monsters." Barangkali, Anies Baswedan adalah tokoh di tengah masa transisi yang rumit, di mana kekuatan lama tak siap memberi jalan bagi harapan baru.
Dalam perjalanan politiknya, Anies barangkali harus memilih antara mempertahankan prinsip atau menyesuaikan diri dengan dinamika politik yang sering kali tak kenal kompromi. Apakah ia mampu menjembatani harapan dan realitas, ataukah ia akan tersesat di antara keduanya? Kita hanya bisa menunggu dan melihat, sambil terus bertanya: apakah Anies benar-benar harapan baru, atau hanya bagian dari wajah lama yang terus bereinkarnasi dalam sejarah politik Indonesia?
Jakarta, 14 Oktober 2024
Dikdik Sadikin, lulusan Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Disclaimer: Tulisan di atas adalah opini pribadi, tidak mewakili pendapat instansi manapun.