Pilkada Serentak 2024, termasuk Pilkada DKI Jakarta, direncanakan akan digelar pada tanggal 27 November 2024, menjadi momen penting dalam proses demokrasi di Jakarta dalam menentukan arah kepemimpinan lima tahun kedepan, sejumlah tokoh dan partai politik gencar melakukan lobi-lobi politik guna memuluskan jalanya merebut tahta nomor satu di Jakarta ini.
Jika melihat peta dan konstalasi politik dalam piilkada DKI 2024, tampaknya peluang Anies Baswedan untuk memenangkan kontestasi sangat besar, terutama mengingat posisinya sebagai incumbent yang telah menghasilkan sejumlah perubahan signifikan dalam pembangunan Jakarta selama masa kepemimpinannya. Dengan rekam jejaknya yang mengesankan dalam memimpin Jakarta, Anies Baswedan telah berhasil mengukir sejumlah prestasi yang signifikan, mulai dari program infrastruktur hingga program sosial yang berdampak langsung pada kehidupan warga Jakarta. Keberhasilannya dalam mengimplementasikan program-program inovatif, serta kemampuannya untuk menarik dukungan dari berbagai pihak, termasuk kelompok masyarakat yang penting secara politis, menjadikannya sebagai kandidat yang kuat dan menjanjikan dalam konteks pilkada mendatang. Oleh karena itu, Anies Baswedan nampaknya memiliki peluang yang sangat besar untuk kembali pada kontestasi politik Pilkada DKJ yang akan datang.
Akan tetapi perlu juga menjadi catatan adalah kekalahan suara Pasangan AMIN pada pilpres 2024 dari pasangan Prabowo-Gibran di DKI Jakarta. Dimana pada awalnya sangat diunggulkan berdasarkan hasil survey beberapa Lembaga survey. Terlepas dari soal kecurangan atau yang lain setidaknya hal ini patut menjadi catatan penting
Bagi kita yang membaca begitu brutalnya demokrasi elektoral kita, maka terbuka peluang bagi siapapun yang memiliki modal dan dukungan finansial besar untuk memenangkan kontestasi politik, sementara sebaliknya, kandidat yang kurang memiliki modal dan dukungan finansial akan mudah dipecundangi. Kehadiran modal dan dukungan finansial yang besar menjadi salah satu faktor utama yang menentukan hasil dari kontestasi politik.
Pengalaman dari Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang kemudian terungkap secara publik mengenai perjanjian hutang piutang antara Anies Baswedan dan Sandiaga Uno mengenai cost politik merupakan bukti konkret tentang mahalnya biaya dalam proses demokrasi, yang tentunya memberikan beban yang sangat berat bagi kandidat yang memegang teguh prinsip integritas seperti Anies Baswedan. Hal ini mencerminkan realitas bahwa biaya kampanye yang tinggi sering kali menjadi hambatan bagi kandidat yang memilih untuk tidak terlibat dalam praktik politik yang meragukan atau tidak etis, karena mereka harus bersaing dengan pesaing yang mungkin lebih mampu secara finansial.
Pada saat yang sama, relawan pendukung Anies juga perlu mempertimbangkan cost politik yang sulit untuk didapat, terutama jika partai-partai seperti NasDem, PKS, dan PKB secara resmi mengusung Anies Baswedan sebagai kandidat mereka dalam pilkada. Meskipun mendapat dukungan dari partai-partai tersebut dapat memberikan keuntungan dalam hal sumber daya dan basis pemilih, relawan Anies perlu waspada terhadap risiko cost politik yang mungkin timbul dari konsekwensi pencalonan tersebut, apakah tiket yang diberikan partai itu beserta ongkos politiknya atau hanya tiket saja Dimana kandidat harus menyiapkan sendiri ongkos politiknya.
Apa yang disampaikan oleh petinggi partai politik dalam merespons pertanyaan wartawan tidak selalu merepresentasikan sikap politik partainya, sehingga hal ini bisa saja berbeda dengan pandangan yang dimiliki oleh relawan. Partai politik seringkali menggunakan strategi komunikasi yang berbeda, dengan mengeluarkan pernyataan yang cenderung ambigu atau tidak langsung, sehingga memancing reaksi dari publik tanpa secara eksplisit mengikat partai pada suatu posisi tertentu. Hasilnya kemudian akan dihitung dengan pendekatan untung-rugi secara politik, di mana partai akan menimbang manfaat dan risiko dari setiap langkah yang diambil dalam merespons isu-isu politik. Meskipun partai-partai seperti PKS, PKB, dan NasDem mungkin memiliki kemampuan untuk memberikan tiket gratis kepada kandidat tertentu, namun perbedaan dengan ongkos politik yang umumnya disiapkan oleh kandidat atau pendukungnya, tetap menjadi teka-teki yang belum terjawab secara jelas.
Ada asumsi bahwa jika Anies Baswedan tidak lagi menjabat, maka dia tidak akan memiliki panggung politik dan akan hilang dalam pusaran politik pada kontestasi pilpres 2029. Namun, keyakinan kita adalah bahwa mutiara akan tetap menjadi mutiara meskipun terbenam di dasar laut. karena itu, asumsi yang menyebut bahwa Anies akan tenggelam ketika tidak menjabat belum tentu benar. Keberadaan Anies dalam politik tidak hanya tergantung pada jabatan yang dipegangnya, tetapi juga pada kapasitasnya sebagai tokoh yang memiliki pengaruh dan popularitas di kalangan masyarakat. Dengan pengalaman dan rekam jejaknya, Anies Baswedan memiliki potensi untuk tetap relevan dalam panggung politik nasional, baik sebagai pemimpin masyarakat maupun dalam kapasitas lain yang dapat memengaruhi arah politik di masa mendatang.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah ada jaminan bahwa Pilpres 2029 tidak akan lebih buruk dari 2024? Apakah kita masih percaya bahwa kekuasaan tidak akan menghalangi langkah politik Anies Baswedan? Dalam dinamika politik yang terus berkembang, sulit untuk memberikan jaminan bahwa situasi politik pada Pilpres 2029 akan lebih baik atau lebih buruk daripada kontestasi sebelumnya. Faktor-faktor seperti polarisasi politik, perubahan sosial, dan dinamika kekuasaan dapat berubah dengan cepat dan sulit diprediksi.
Namun, keyakinan akan kekuatan politik Anies Baswedan tidak hanya terletak pada posisi kekuasaannya, tetapi juga pada pengaruh dan dukungan yang dimilikinya di kalangan masyarakat. Meskipun kekuasaan bisa menjadi penghalang bagi langkah politiknya, keberhasilan Anies dalam membangun citra dan basis pendukung yang kuat dapat memberikannya daya tahan dan ketahanan terhadap tekanan politik. Oleh karena itu, sementara tidak ada jaminan bahwa Pilpres 2029 akan lebih mudah, keyakinan akan kemampuan politik Anies Baswedan untuk bertahan dan berperan dalam dinamika politik tetap ada, terlepas dari tantangan yang mungkin dihadapinya di masa depan.
Persoalan tiket Pilkada DKI juga bisa terkait dengan Pilpres sebagai bentuk akumulasi dari kekecewaan PDIP dengan partai pengusung pasangan Prabowo-Gibran yang dianggap ikut bekerjasama dengan Jokowi mempecundangi PDIP. Jika ini yang terjadi, maka tidak mustahil Anies Baswedan juga akan didukung oleh PDIP, terutama jika kader yang digadang-gadang oleh PDIP seperti Basuki Cahaya Purnama (Ahok) atau Tri Risma Harini diyakini tidak mampu mengalahkan kandidat yang didukung oleh Presiden Jokowi dan partai koalisinya. Dari pengalaman ini, dapat dipastikan bahwa Pilkada DKI akan memiliki citarasa Pilpres dan bisa bermotif balas dendam politik, sehingga tentu akan semakin memanas dan brutal.
Panggung politik seperti ini patut menjadi pertimbangan serius bagi seorang Anies Baswedan karena ini bisa menjadi panggung keduanya setelah gagal dalam pilpres 2024 dan memuluskan jalannya menuju 2029. Namun, pada saat yang sama, ini juga bisa menjadi akhir karier politiknya jika tidak dapat memenangkan kontestasi tersebut. Oleh karena itu, tantangan ini membutuhkan strategi politik yang cermat dan dukungan yang kuat dari berbagai pihak agar Anies dapat mengoptimalkan peluangnya dan mengukir posisi yang signifikan dalam politik Jakarta dan nasional.
Namun, permainan politik ini kemungkinan besar akan mencapai puncaknya pada tahap akhir pencalonan, atau yang sering disebut sebagai injury time, yaitu saat menjelang penutupan pencalonan pasangan yang ditentukan oleh KPUD DKI Jakarta. Pada tahap ini, dinamika politik bisa berubah dengan cepat, termasuk kemungkinan perubahan aliansi, penarikan dukungan, atau munculnya kejutan politik lainnya yang dapat memengaruhi arah dan hasil dari kontestasi politik. Oleh karena itu, tahap injury time menjadi momen krusial yang akan menentukan jalannya perhelatan Pilkada DKI Jakarta dan dinamika politik yang akan menyertainya.
Dr. Heri Solehudin Atmawidjaja, Pemerhati Sosial Politik dan Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta, Wakil Ketua Forum Doktor Sosial Politik Universitas Indonesia, Direktur Heri Solehudin Center