Menteri Keuangan bersama Menko Perekonomian pada konferensi pers 6 November 2023, mengumumkan tiga kluster kebijakan fiskal sebagai bantalan ekonomi berupa dua paket penebalan bantuan sosial (bansos), satu paket percepatan penyaluran KUR dan satu paket insentif pajak perumahan. Kebijakan afirmasi kepada masyarakat berpenghasilan rendah pada dua bulan terakhir 2023 ini sebagai upaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5%.
Dua paket bansos senilai Rp10,19 triliun digelontorkan pada tiga bulan menjelang pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pertama, paket tambahan bantuan beras 10 kilogram hingga Desember 2023 ditujukan untuk 21,3 juta Kelompok Penerima Manfaat senilai Rp2,67 triliun . Kedua, bantuan langsung tunai kepada 18,8 juta keluarga miskin untuk meredam dampak gejolak harga akibat fenomena perubahan iklim dan El Nino sebesar Rp7,52 triliun.
Di luar kebijakan stimulus tambahan tersebut, pada APBN 2023 sudah teralokasi untuk perlindungan sosial (Perlinsos) sebesar Rp476 triliun. Kalau dibandingkan anggaran Bansos tahun 2019 sebesar Rp308,4 triliun , terjadi lonjakan yang siginifikan pada tahun ini. Publik mempertanyakan kenapa terjadi kenaikan tersebut padahal penduduk miskin pada September 2022 sebesar 9,57 persen hanya naik 0,35 persen dibandingkan September 2019.
Sesuai UU Nomor 19 Tahun 2023 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2024 dari belanja APBN sebesar Rp3.325,12 triliun dialokasikan untuk Perlinsos sebesar Rp493,5 triliun. Jumlah tersebut lebih besar dari alokasi Perlinsos pada APBN 2021 sebesar Rp468,2 triliun saat pandemi covid-19 masih merebak.
Bansos Sebagai Insentif Elektoral
Kebijakan bansos tersebut antara lain berkontribusi menghasikan kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi. Morning Consult Political Intelligence menempatkannya dengan approval rating tertinggi di antara pemimpin negara di dunia. Lonjakan bansos menjelang tahun politik mampu menaikan kemampuan endorsement Presiden Jokowi. Selanjunya dengan jaringan, kekuasaan dan sumber daya yang dimilikinya berpotensi dikapitalisasi untuk pemenangan kandidat tertentu.
Setali tiga uang siasat jitu tersebut ternyata juga dipakai Cawapres Koalisi Indonesia Maju, Gibran Rakabuming Raka. Dalam pidato perdananya di Indonesia Arena, Senayan, Jakarta, Gibran menawarkan bansos unggulannya manakala memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) bersama Prabowo. Selain melanjutkan bansos yang digagas ayahnya, Gibran menambahkan lagi program populis tersebut yakni dana abadi pesantren, kredit startup milenial, KIS Lansia, dan kartu anak sehat anti stunting.
Sebagai politisi yang pernah terlibat kontestasi Pilkada dan mengikuti Jokowi memenangkan lima kali kompetisi Pilkada dan Pilpres, Gibran meyakini narasi mengenai bansos terbukti ampuh meraup insentif elektoral. Kondisi psikologis penerima Bansos rentan dipengaruhi untuk menjatuhkan pilihan pada Capres Cawapres ini, apabila aparat pengelola Bansos memberikan preferensi keterkaitannya dengan Presiden Jokowi.
PKPU Nomor 3 tahun 2022 menetapkan jadwal pemungutan putaran kedua tanggal 26 Juni 2024. Apabila penyaluran bansos direalisasikan dalam jumlah relatif besar pada tahun 2023 dan 2024 sampai pemungutan suara putaran kedua, maka potensi penggunaan bansos untuk tujuan politik terbuka lebar.
Program bansos yang berdekatan dengan pemilu jelas memicu mobilisasi pemilih yang memberikan efek tertentu, khususnya kepada pihak yang didukung petahana. Bawaslu dan BPK dan BPKP perlu memastikan pengelolaan bansos harus dilakukan secara transparan, partisipatif, akuntabel, efisien, efektif, dan inklusif.
Politik uang dapat terjadi manakala ada pihak yang mengasosiasikan bansos dengan salah satu kontestan pada saat penyaluran. Dalam masa kampanye Pilpres harus dihindari upaya politisasi pemberian bansos dengan kontestan tertentu karena berpotensi sebagai kampanye terselubung. Peran organisasi pemantau pemilu, media dan masyarakat sipil diperlukan manakala tugas pengawasan tidak dijalan oleh lembaga pengawasan formal tersebut.
Pengalaman empiris menunjukkan penggunaan bansos untuk kepentingan Pilpres belum terbukti. Namun, beberapa pelanggaran Pilkada serentak tahun 2020 akibat pemanfaatan bansos disusupi kepentingan kontestasi menjadi pelajaran berharga untuk Pilpres 2024. Pilkada serentak yang dilaksanakan dalam masa pandemi dimana bansos secara masif digelontorkan baik dari APBN maupun APBD menuai kontroversi.
Kondisi tersebut memberi peluang untuk kampanye terselubung pada Pilkada oleh petahana. Modus operandi kejahatan politik ini antara lain dilakukan dengan mengklaim sumber bansos berasal dari kontestan tertentu atau menempelkan simbol dan tanda gambar sebagai identitas kontestan dimaksud pada paket bansos.
Kemungkinan potensi kampanye terselubung lebih diperparah apabila 271 pejabat kepala daerah yang diangkat dan mengaku tegak lurus dengan Presiden Jokowi ikut cawe-cawe dalam pengelolaan bansos. Pejabat kepala daerah sebagai pejabat birokrasi sejatinya netral mengawasi bansos yang bersumber dari APBN dan APBD tahun 2023 dan 2024. PP Nomor 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, telah menetapkan sanksi pemberhentian sebagai PNS atas pelanggaran netralitas tersebut.
Kriteria Penerima Bansos Berbasis Pemilih
Sasaran penerima bansos tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikelola Kementerian Sosial. Risma mengakui sejak menjabat ia telah menerima banyak masukan dari BPK, BPKP dan lembaga lainnya terkait upaya pembersihan DTKS, sehingga bulan Agustus 2023 sebanyak 68.211.528 data sudah ditidurkan
Potensi penyimpangan penggunaan DTKS sebagai sasaran penerima dapat terjadi apabila aparat pengelola mempertimbangkan basis elektoral penerima. Persoalan DTKS sampai saat ini masih menyisakan masalah berpotensi menimbulkan kerawanan tersusupi kepentingan pemenangan kandidasi tertentu.
Agenda kepentingan politik partisan terlihat manakala provinsi dan kabupaten/kota sebagai lumbung suara kontestan tertentu memperoleh alokasi yang lebih besar ketimbang wilayah lainnya. Untuk itu, transparansi dan akuntabilitas penetapan sasaran penerima harus dilakukan berbasis elektronik dengan memperhatikan jumlah penduduk dan persentase kelompok penyandang masalah sosial pada suatu daerah.
Kalangan penggiat demokrasi mengingatkan netralitas Presiden Jokowi pada Pilpres ini, karena sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dinilai memiliki berbagai instrumen memenangkan Capres/Cawapres tertentu. Kita berharap kampanye terselubung dapat dicegah manakala aparat negara yang mengelola bansos tidak mengkondisikan pemberian bansos merupakan afirmasi kandidat tertentu terhadap pemilih.
Hamdani, Akademisi Departemen Akuntansi FEB Universitas Andalas/Pakar Keuangan Negara dan Daerah