Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, Guru Besar Akuntansi FEB Unair Surabaya
Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, Guru Besar Akuntansi FEB Unair Surabaya
Berita yang mengatakan bahwa mas Menteri Pendidikan merencanakan penghapusan skripsi, tesis, bahkan disertasi, sebagai pengurangan beban perkuliahan, mungkin tidak benar. Memang melalui Permen 53 thn 2023, beliau merencanakan pembenahan kearah yang lebih baik. Dikatakan olehnya bahwa pendidikan dan praktek itu saling terkait, oleh karena itu pendidikan perlu dibenahi. Bahkan dia mengatakan bahwa keputusannya sangat tergantung pada Kepala Jurusannya (KPS) atau Rektor masing-masing Perguruan Tinggi (PT).Berita demikianlah yang dipotong oleh masa/berita dalam negeri. Mas menteri melanjutkan,bahkan idealnya seorang yang lulus dari PT itu mampu menerapkan, menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat. Maka untuk itu ditetapkanlah standard, seperti pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan bagi duniapendidikan dan dunia kerja. Oleh karenanya tidak dilarangmelanjutkan ke profesi yang lebih tinggi.
Lalu yang perlu kita pertanyakan bisakah itu dilaksanakan? Menurutku sangat tergantung pada jenis sekolahnya, ada teknik, ada kedokteran, ataupun ilmu sosial, dan juga tergantungbagaimana penerimaan manusia sebagai karyawan itu (sebagai orang yang akan mengobati). Oleh karenanya, bila seperti itu harapan mas Menteri Pendidikan, maka beberapa hal ini perlu diperhatikan.
Yang pertama, bila S1boleh-boleh saja tanpa tulisan, skripsi. Karena untuk S1 jurusan ilmu sosial dan ekonomi yang penting adalah bagaimana dia berkomunikasi. Komunikasi yang intens dan baik inilah kunci keberhasilan, memang bukan dari kemampuan menulis skripsi. Jadi tata cara dan materi berkomunikasi ini sangat penting. Oleh karenanya mata kuliah ini harus diberikan.
Selanjutnya yang ke dua, yaitu tehnik menulis. Teknik ini penting, bukan ilmu menulis yang umum, tetapi spesifik bagaimana cra menulisnya. Dengan demikian mahasiswa diharapkan dapat menulis dengan baik, entah itu laporan, skrispi, tesis, atau disertasi, atau lainnya. Hal ini dikarenakan baik itu skripsi atau laporan atau pengungkapan hasil proyek, hasil prototype, semua ini perlu penulisan yang baik dan benar. Oleh karenanya bagaimana cara menulis yang baik dan benar itu harus diberikan. Mungkin untuk dunia kedokteran rasanya skripsi atau menulis itu perlu dan penting. Cuma harus diingat bahwa pemberi jalan (persetujuan) itu adalah Ketua Program Studi (KPS) atau Rektornya. Sedangkan untuk lulusan tertentu, misalnya bidang ekonomi dan sosial rasanya skripsi bisa dihapuskan.
Berikutnya yaitu yang ke tiga tentang pengurangan Mata Kuliah (MK) dan penambahan SKS bagi MK itu. Mari kita resapi bahwa tidak semua MK itu penting, misalnya bagi Pendidikan S1, perlukah Filsafat? Tetapi MK yang dianggap penting pada jurusan itu bisa ditambahkan nilai SKS nya dan segala yang terkait. Jadi tidak semua MK itu perlu, maka nilai/jumlah SKS dan pemberian kuliahnya yang harus diubah. Dengan demikian bila sudah ditetapkan waktu/lama belajar, maka jumlah nilai SKSnya bisa diubah.
Demikian pula pada jenjang S2 atau magister. Kalau kita bandingkan dengan metodologi pembelajaran di luar negeri (LN), untuk jurusan tertentu, tesis itu sudah lama engga dipakai atau calon mahasiswa bisa memilih, akan menulis tesis atau tidak. Bila mahasiswa memilih iya make teknik menulis maka waktunya lebih lama, serta teknik menulis harus diberikan (caranya seperti di atas). Ini hanya contoh, bukan berarti LN lebih baik. Tetapi cara demikian bisa diihat dan dicontoh. Jadi lihat jurusannya dan waktunya harus disesuiakan.
Lalu bagaimana dengan jenjang S3. Bila S3 mahasiswa diharapkan menemukan sesuatu yang baru. Maka menulis disertasi itu merupak kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Dengan lain perkataan, menulis disertasi adalah keharusan. Seperti dikatakan oleh mas Menteri (menristek dikti) bahwa merupakan suatu kewajiban bagi mahasiswa S3untuk diberikan tugas akhir dalam bentuk disertasi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis. Jadi inilah yang diomongkan beliau. Maka dari itu, hal ini adalah sesuai dengan apa yang saya pikirkan. Jadi untuk jenjang doktoral menulis atau melakukan penelitian itu merupakan kewajiban. Dengan demikian kelulusan S3 memang telah menggambarkan mutu, relevansi, serta kemanfaatan ilmunya.
Dengan demikian jelaslah bagaimana mengikuti pendidikan di Indonesia tercinta dan apa yang dimaksud mas Menteri (menristek dikti). Jadi bukan dihapuskan semua system penulisan. Harapanku, mengikuti cara di atas, maka standar penilaian kelulusan, entah itu S1, S2 atau S3 bisa diterapkan, sehingga tujuan mas Menteri tetap tercapai. (*)