Moh Cholid Hanafi (kiri) dan Sigit Supriono di Magetan.
Oleh: Dahlan Iskan
DI BANDARA Balikpapan saya disapa seorang laki-laki ganteng berkopiah. Ia menyalami saya dengan merunduk. Sikapnya sangat sopan. Rendah hati. Tawaduk. Tutur katanya halus, apalagi diucapkan dalam bahasa Jawa kromo inggil.
Laki-laki itu duduk di sebelah saya. Ngobrol. Sama-sama di ruang tunggu gate 8. Lalu, dengan lirih, ia berkata: minta nasihat. Juga minta saran apa yang harus ia lakukan.
Untung saya tidak mau memberi nasihat. Juga tidak mau memberi saran. Saya justru bertanya siapa ia dan latar belakangnya.
Namanya: Moh Cholid Hanafi.
Jabatan: Lurah Gunung Telihan. Di kota Bontang.
Tak lama kemudian beberapa orang ikut nimbrung. Ternyata mereka bagian dari rombongan Pak Lurah. Mereka anak-anak muda aktivis di Kelurahan Telihan. Kegiatan mereka: menyelesaikan sampah penduduk di kelurahan itu. Caranya: menyediakan kotak-kotak sampah terpilah di setiap RT.
Penduduk membawa sampah ke kotak itu. Lalu memasuk-masukkan sampah ke kotak sesuai dengan kategori sampahnya. Ada 12 kotak di setiap RT. Berarti ada 12 jenis sampah.
Dari titik itu sampah dikumpulkan ke satu tempat di kelurahan. Sampah yang ada harganya dijual. Yang mengandung aluminium didaur ulang. Dibuat aluminium cair. Lalu dicetak menjadi baling-baling kapal kecil. Di Bontang banyak nelayan.
Yang tidak bisa diolah barulah dibakar. Jumlahnya masih besar: 50 persen. Mereka lagi cari cara bagaimana bisa membakar sampah dengan efisien. Karena itu mereka ke bandara. Akan ke Magetan.
''Magetan?'' tanya saya.
''Inggih pak. Ke desa Taji, Karas, Magetan,'' kata Pak Lurah Cholid.
Begitu jauh mereka belajar membakar sampah. Dari Bontang naik bus 6 jam ke Balikpapan. Lalu naik pesawat ke Surabaya. Naik bus lagi ke Magetan.
Pesawat mereka rusak. Keberangkatan tertunda. Saya beruntung di atas penderitaan mereka. Dari mereka saya tahu: di Magetan ada teknologi pembakaran sampah yang hebat. Sampai jadi pusat studi dari jauh.
Berarti Pak Lurah dari Bontang ini juga hebat –tanpa nasihat. Sampai kirim tim sampah belajar ke Magetan. Orang yang sudah hebat jangan diberi nasihat. Yang penting: jangan diganggu. Jangan banyak dipersoalkan.
Ternyata Pak Cholid adalah sarjana kesehatan masyarakat. Lulusan Unair pula. Maka perhatiannya pada kebersihan sangat tinggi. Bahwa bahasa Jawanya mlipis, ternyata ia lahir di dekat prapatan Sleko, Madiun.
Pak Lurah Cholid kini juga sibuk menyiapkan rakyatnya untuk program lainnya: penerapan teknologi Wolbachia di Telihan.
''Gara-gara ada video viral yang mengkhawatirkan program itu, saya repot lagi. Harus kembali menjelas-jelaskan ke masyarakat,'' ujarnya.
''Apakah gara-gara video itu ada penduduk yang mundur dari program?'' tanya saya.
''Tidak ada. Hanya kami dapat tambahan pekerjaan yang tidak perlu,'' kata Cholid.
Masyarakat di Telihan, katanya, lebih takut bahaya demam berdarah. Bontang termasuk yang kasus demam berdarahnya tinggi. Maka Bontang terpilih untuk menerapkan pemberantasan demam berdarah lewat penyebaran nyamuk Wolbachia (lihat Disway: Tahija Wolbachia)
Telihan bukan desa pertama yang akan menjalankan program itu. Seluruh kelurahan di kecamatan Bontang Utara sudah memulainya dua bulan lalu. Berarti sudah enam minggu. Kurang enam minggu lagi.
''Bulan depan mulai di kelurahan kami. Ember-ember sudah datang. Tinggal membagikan,'' kata Cholid.
Sarjana kesehatan masyarakat kelihatannya cocok menjabat lurah. Kita lihat dua tahun lagi seberapa maju Telihan.
Kemarin saya hubungi lagi Pak Lurah Cholid.
''Jam berapa tadi malam sampai Magetan?''.
''Jam 12 malam,'' jawabnya. Berarti 16 jam perjalanan mereka: untuk belajar membakar sampah.
Saya pun menghubungi Pak Sigit Supriono di Taji, Karas, Magetan. Saya ingin tahu seberapa hebat teknologi pembakaran sampah buatannya. Sampai begitu terkenalnya.
Hampir satu jam saya ngobrol dengan Pak Sigit. Saking menariknya.
Maka, tebakan saya: soal itulah topik tulisan Disway besok pagi. (*)