Civil Disobedience: Ketika Rakyat Menentang Pemimpinnya

Oleh: Qusyaini Hasan *)

"Saya mengimbau kepada seluruh bangsa Indonesia untuk selalu waspada terhadap unsur-unsur yang selalu ingin huru-hara, yang ingin chaos," kata Presiden Prabowo Subianto, setelah pengemudi ojek online atau ojol meninggal akibat dilindas mobil rantai kendaraan taktis (rantis) Brimob, dalam demonstrasi pada 28 Agustus 2025 di Jakarta.

Sebagai Kepala Negara, Prabowo juga mengajak masyarakat untuk tetap tenang di tengah situasi pascaaksi demonstrasi yang terjadi belakangan ini. Ia juga mengajak masyarakat untuk mempercayai pemerintahan yang dipimpinnya. "Dalam situasi seperti ini, saya mengimbau semua masyarakat untuk tenang dan percaya dengan pemerintah yang saya pimpin," kata dia.

Persoalannya, apakah imbauan atau ajakan Prabowo disambut rakyatnya dengan sikap patuh dan taat? Tidak! Ternyata aksi protes rakyat terekskalasi menjadi kemarahan dan amuk yang tak terbendung.

Solidaritas pengemudi ojol mengepung Markas Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat, yang akhirnya meluas hingga daerah lain. Sasaran protes berikutnya adalah kantor-kantor polisi. Bahkan Polres Jakarta Timur dibakar massa, selain fasilitas-fasilitas umum, seperti halte dan stasiun.

Tak sampai di situ, massa menyatroni tempat tinggal anggota DPR dari Partai Nasdem Ahmad Sahroni di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan menguras isi rumahnya. Kediaman Eko Patrio, dan Uya Kuya, artis yang juga anggota DPR dari PAN juga jadi sasaran penjarahan. Begitu juga dengan rumah Menkeu Sri Mulyani Indrawati di Kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, juga jadi sasaran amuk massa.

Apakah gara-gara joget di DPR, rakyat jadi pembangkang dan perusak seperti ini? Bukan. Masalah utamanya bukan itu. Sahroni, Eko, Uya, atau Sri Mulyani  Titik-titik ini sebenarnya kemarahan simbolik saja karena relatif terjangkau dan dapat diakses publik.

Makna yang sebenarnya dari kemarahan rakyat adalah fasilitas dan tunjangan anggota DPR yang gila-gilaan dan melukai rasa ketidakadilan publik, padahal kerjanya tidak jelas.

Ucapan Sahroni yang menudik rakyat tolol, serta sikap Eko, Uya, dan beberapa anggota DPR lainnya yang joget-joget dan menyindir kritikan menjadi bensin yang siap membakar amarah publik.

Tak hanya soal anggota DPR, fenomena sikap jumawa para pejabat, rangkap jabatan, dan hidup bermewah-mewahan juga mengoyak rasa kemanusiaan rakyat.

Prabowo mengumandangkan efisiensi, tapi justru membentuk kabinet yang gemuk. Program unggulannya, Makan Bergizi Gratis (MBG) yang seharusnya menyentuh kebutuhan rakyat bawah ternyata bermasalah, bahkan menjadi lahan korupsi baru bagi para kroninya.

Sementara, rakyat terus diperas, ditindas, dan terus diberi beban tambahan dengan kenaikan PBB, di tengah kondisi ekonomi yang tak menentu. Lapangan kerja susah, sementara PHK terus menjadi hantu menakutkan. Kesenjangan sosial terus menganga tanpa ada solusi yang jelas.

Situasi inilah yang akan melahirkan rakyat yang tak patuh. Ketidakpatuhan rakyat terjadi ketika rakyat tidak lagi menghargai pemimpinnya. Penyebabnya banyak faktor, seperti ketidakpuasan dengan kebijakan, korupsi atau memperkaya diri dan kelompoknya, penyalahgunaan kekuasaan, dan kurangnya partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan.

Semua ini mengakibatkan pada berkurangnya kepercayaan rakyat. Jika pemimpin atau penguasa tidak transparan, tidak adil, atau tidak memegang janji, rakyat pasti tak akan percaya lagi dan bahkan akan membangkang terhadap mereka. Lihat saja, protes di berbagai medium, demonstrasi jalanan, hingga amuk massa tak terkendali adalah bentuk nyata dari pembangkangan itu.

Fenomena ketidakpatuhan rakyat sebetulnya bukan kali ini saja. Filsuf Amerika Henry David Thoreau juga mengungkapkan dalam esainya berjudul "Civil Disobedience" pada 1849. Ia berpendapat bahwa individu atau rakyat berhak untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil atau tidak bermoral.

Menurut Thoreau, rakyat berhak menentukan sendiri apa yang benar dan salah, bahkan tak harus mematuhi hukum yang bertentangan dengan hati nurani mereka.

Thoreau menekankan pentingnya tindakan rakyat dalam mencapai perubahan sosial dan politik. Ia percaya bahwa individu harus berani mengambil tindakan untuk memperbaiki ketidakadilan, bahkan jika itu berarti melanggar hukum.

Ketidakpatuhan sipil berdampak besar bagi pemimpin atau penguasa. Seorang presiden bisa kehilangan legitimasinya karena tak bisa dipercaya lagi. Bahkan, dalam banyak kasus, ketidakpatuhan sipil dapat menyebabkan penggantian pemimpin atau penguasa.

Pembangkangan rakyat juga bakal memaksa presiden untuk mengubah kebijakan-kebijakannya yang tak populer di mata rakyat. Jadi, pilih mana, Pak Prabowo, digulingkan atau ubah kebijakan?

*) Penulis adalah jurnalis senior, peminat kajian komunikasi politik.