Utteng Al-Kajangi
Di akhir pekan kemarin telah terjadi persetujuan gencatan senjata antara pejuang Palestina (saya sengaja memakai kata Palestina karena ada kecenderungan saat ini memisahkan Gaza dari Palestina) dan pemerintahan Israel. Ada dua negara yang terlibat langsung dalam upaya terjadinya gencatan senjata ini; Amerika dan Qatar.
Yang menarik bagi saya adalah keterlibatan dan kemampuan diplomasi Qatar sehingga menjadi pemain kunci dalam konflik ini. Bukan Saudi Arabia, bukan juga Turki atau negara-negara yang berbatasan langsung dengan Palestina; Jordan dan Mesir misalnya.
Qatar memang tidak secara langsung bertetangga dengan Palestina dan Israel. Qatar juga adalah negara yang secara geografis sangat kecil. Negara ini dapat dikelilingi dalam masa kurang dari sejam dengan mobil. Penduduknya (asli Qatar) hanya sekitar 2.7000-an orang. Tapi Qatar mampu menunjukkan gigi dalam banyak hal ke dunia internasional. Salah satunya Qatar telah berhasil sebagai tuan rumah kejuaraan sepak bola dunia yang paling bergengsi dalam sejarahnya.
Saya melihat kehebatan Qatar ini memungkinkan karena memang Qatar merupakan salah satu negara yang kaya secara ekonomi. Tidak saja karena minyak. Tapi juga karena memang, seperti yang biasa saya sebutkan, cukup terdidik sebelum pundi-pundi kekayaan itu terbuka lebar. Mereka mampu mengelolah kekayaan alam (minyak) mereka dalam membangun negara, termasuk di bidang pendidikan. Hampir semua Universitas terkenal dunai ada di Qatar.
Tapi yang paling menentukan dari semua itu adalah Kepemimpinan dari negara tersebut. Amir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani yang masih relatif muda itu adalah sosok yang cukup ideal dalam mengelolah pemerintahan negaranya. Walaupun dikenal sebagai negara non demokratis, tapi warga negaranya merasakan nilai-nilai demokrasi yang tumbuh dari ajaran Islam yang mereka taati dengan penuh komitmen. Kepemimpinan yang hebat inilah menjadikan kehebatan Qatar diakui oleh dunia internasional.
Tentu ini sangat berbeda dengan negara lain yang sering “mengaku” akan melakukan sesuatu untuk menghentikan serangan Israel. Yang terjadi justeru direspon dengan lolucon oleh pihak lain. Tidak direspon secara serius. Karena pihak lain itu paham bahwa yang bersangkutan tidak punya bobot dan konsep jelas tentang isu Palestina-Israel. Dan juga tidak bisa memainkan “bargaining” besar yang dimiliki oleh negaranya. Salah satu penyebabnya adalah karena adanya mental “peminta-minta”. Selalu mengharap belas kasih, baik itu utang atau investasi.
Kembali ke gencatan senjata antara Pejuang Palestina dan Israel tadi. Gencatan senjata ini dimunculkan di publik sebagai gencatan yang bersifat lebih disebabkan oleh kemanusiaan. Di mana mereka yang ditahan (dalam bahasa musuh Palestina: diculik) pejuang Palestina akan dilepaskan. Sebaliknya sebagian warga Palestina yang ditahan oleh Israel juga akan dilepaskan. Juga agar bantuan kemanusiaan bisa lebih lancar untuk warga Gaza.
Yang mungkin kita gagal paham adalah kenyataan bahwa Israel memang sangat terpaksa menerima persetujuan ini karena beberapa faktor lain. Kita ketahuii bahwa karakter radikal Pemerintahan Benjamin sebenarnya menginginkan penghancuran secara total (total elimination) kepada Gaza dan warganya. Bagi Israel semua warga Gaza harus lenyap; terbunuh atau keluar dari daerah itu. Akan tetap keadaanlah yang memaksanya sehingga Israel menerima tawaran gencatan senjata itu.
Saya akan menyebutkan tujuh faktor utama kenapa Israel menerima tawaran gencatan senjata ini:
Karen kuatnya tekanan warga Israel kepada pemerintahan Natanyahu, khususnya mereka yang punya keluarga ditahan di Gaza. Konon kabarnya ada sekitar 230 orang yang ditahan oleh pejuang Palestina. Benjamin Natanyahu mencari “keselamatan”. Walaupun semua tahu jika Natanyahu telah menamatkan riwayat politiknya dengan kekejamannya sendiri.
Karena memang secara militer Israel mengalami lebih banyak korban. Selain banyaknya tentara mereka yang mati, juga alat-alat perang mereka banyak yang berhasil dihancurkan. Untuk menutupi semua itu, Israel membabi buta dengan menyerang rakyat sipil dari udara.
Secara ekonomi Israel saat ini mendekati titik terendah. Harapan bantuan dari US sebesar $40 milyar belum juga disahkan oleh Senat. Bukan karena mereka tidak mendukung Israel. Tapi karena dana yang diajukan ini sekaligus juga $60 Milyar untuk Ukrain. Republikan masih menolak usulan ini. Pada saat yang sama banyak perusahaan-perusahanan yang selama ini mendukung Israel secara ekonomi sangat terdampak dengan gerakan boikot selama ini.
Israel saat ini mengalami sakarat secara diplomasi. Selain karena dunia keterbukaan dengan media yang tidak terbatasi oleh penguasa dunia (pemilik kapital). Juga karena arogansi diplomat-diplomat Israel di mana-mana, termasuk di PBB New York. Belum lagi gerakan masyarakat luas dunia yang hampir 90% mendukung bangsa Palestina.
Tumbuhnya kesadaran yang tinggi masyarakat Yahudi dunia, termasuk komunitas Yahudi di Amerika, akan bahaya masa depan mereka. Mereka sadar bahwa apa yang dilakukan oleh Israel saat ini semakin menambah luka dan kebencian orang kepada mereka. Dan karenanya mereka sadar bahwa masa depan mereka semakin terancam. Perlu diketahui bahwa Yahudi di dunia hanya 16 juta. Sementara umat Islam itu hampir 2 Milyar manusia.
Dukungan dari beberapa negara yang disebut aliansi Israel mulai berubah. Prancis sudah dengan menyerukan gencatan senjata. Kanada dan Amerika juga mulai berubah. Perubahan sikap ini disebabkan oleh kuatnya tekanan dari masyarakat mereka masing-masing. Joe Biden misalnya sangat khawatir kehilangan suara komunitas Muslim dan Arab. Saya sering sampaikan ini kepada partner interfaith saya bahwa tidak ada yang permanen. Yang permanen hanya kepentingan. Ingat, ada masanya kepentingan Amerika akan berubah karena perubahan itu sendiri.
Kekejaman Israel di Gaza semakin membuka mata nurani banyak orang di seluruh dunia tentang apa dan siapa serta bagaimana sesungguhnya yang terjadi di kawasan itu. Hal ini karena faktor media sosial semakin terbuka. Israel sadar bahwa kebohongan-kebohongan yang mereka lakukan selama ini akan semakin terekspos dan menjadi bumerang bagi Israel sendiri.
Demikian tujuh alasan kenapa Israel terpaksa menerima persetujuan gencatan senjata ini. Justeru yang belum dirasakan oleh Israel adalah tekanan riil dunia Islam. Dunia Islam masih sebatas “seruan-seruan”. Bayangkan kalau UAE atau Turki langsung mengusir Dubes Israel. Atau Saudi mengeluarkan ultimatum jika serangan tidak dihentikan Saudi akan mengambil aksi…apapun yang dimaksud dari gertakan itu. Wallahu a’lam!
Jamaica City, 26 November 2023
(Catatan Putra Kajang di Kota New York).