Generasi Z: Generasi Tuna Wisma

2 Desember 2023

Thio Ahlan Shakura, Kolumnis

Koordinator Sahabat Anies Internasional (SAI)  Korea Selatan

Sandang, pangan, dan papan adalah tiga kebutuhan pokok untuk manusia. Sejak zaman dahulu hingga sekarang, zaman terus berubah, yang dulu handphone itu bukan termasuk kebutuhan pokok, sekarang handphone adalah sebuah kebutuhan yang urgent. Tetapi tiga kebutuhan pokok ini tidak pernah berubah. Seiring berubahnya zaman, harga tiap kebutuhan pun terus berubah dan menjadi semakin mahal. Zaman dulu saat saya masih kecil, harga minuman dingin di kantin sekolah hanya tiga ribu rupiah. Zaman sekarang tiga ribu rupiah pun tidak mungkin dapat air mineral biasa. Kenaikan harga ini pun terjadi kepada harga rumah atau properti. Menurut website Hitekno, pada tahun 1980-an, luas bangunan 150-meter persegi atau bahkan lebih, bisa didapatkan dengan harga 50 juta-an rupiah. Zaman sekarang, menurut website Berita 99, 150-meter persegi bisa dibeli dengan harga serendah-rendahnya tiga ratus juta rupiah. Setengahnya saja tidak sampai. Dan itupun tergatung dari area dimana bangunan tersebut berada. Jika bangunan tersebut berada di salah satu area strategis di Jakarta, harga bangunan bisa mencapai miliaran juta rupiah. Dan sebagai akibat dari kejadian tersebut, banyak dari generasi milenial dan bahkan genereasi Z yang tidak mampu membeli rumah. Jika mereka mampu membeli rumah, harus dengan bantuan finansial dari orang tua dan tidak mungkin mereka bergantung kepada gaji pribadi.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama dari kenaikan harga rumah yang dramatis. Pertama, terbatasnya lahan yang tersedia untuk pembangunan rumah di daerah perkotaan menyebabkan permintaan melebihi pasokan. Keterbatasan lahan ini memicu persaingan yang ketat di pasar perumahan, yang secara alami mendorong harga naik. Kedua, spekulasi pasar juga memainkan peran besar dalam peningkatan harga rumah. Banyak investor yang memanfaatkan pasar perumahan sebagai alat investasi, dengan membeli properti untuk kemudian dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini memicu lonjakan harga yang sulit diakses oleh generasi Z yang berupaya untuk membeli rumah pertama mereka. Ada yang lebih menyedihkan lagi adalah tidak adanya respon baik dari pemerintah terkait masalah yang terjadi ini. Hal yang dianggap sebagai solusi oleh pemerintah adalah membuat rumah subsidi dengan kualitas di bawah rata-rata, mereka juga membuat apartemen murah yang tidak layak untuk dihuni jika dilihat dari berbagai aspek. Hal-hal tersebut tidak menyelesaikan masalah.

“Ya sudah hidup sama orang tuamu saja” “Halah masih anak kecil ngapain kamu beli rumah”. Hal hal seperti itu pasti banyak kita dengar dari para generasi tua jika kita berbicara terkait rumah dengan generasi Z. Sebuah pemikiran yang sangat salah. Dampak jika generasi Z tidak bisa membeli rumah itu sangat signifikan. Salah satu dampak untuk generasi Z adalah, banyak dari mereka yang terjebak dalam lingkaran sewa yang tidak berujung, tanpa harapan untuk membangun asset jangka panjang. Penting untuk diingat bahwa kepemilikan rumah bukan sekadar masalah finansial. Kepemilikan rumah memberikan stabilitas, keamanan, dan memberikan rasa memiliki terhadap lingkungan sekitar. Ketika generasi Z terus terpinggirkan dari pasar perumahan, dampaknya bisa terasa jauh ke masa depan, menciptakan divisi ekonomi dan sosial yang lebih dalam.

Ada beberapa solusi dalam mengatasi krisis rumah untuk generasi Z ini. Salah satunya seperti menyudahi korupsi uang pembangunan kota misalnya. Seperti yang terjadi selama ini, ada tiga orang oknum di tegal yang mengorupsi uang pembangunan jalan, atau dana 1.6 miliar untuk pembangunan rumah sakit di bogor yang dimakan sendiri, dan masih banyak lainnya. Ini bisa jadi salah satu alasan kenapa rumah-rumah yang dibangun pemerintah terlihat tidak layak huni. Karena dibangun dengan uang seadanya dan sisa uangnya dipakai untuk makan sendiri. Semoga nanti calon presiden selanjutnya bisa menghentikan siklus korupsi ini. Jangan malah salah satu politikus dari partainya juga ikut korupsi. Atau mungkin, solusi kedua adalah menstimulasi pembangunan di wilayah pinggiran kota. Mendorong pembangunan perumahan di wilayah pinggiran kota atau daerah sekitar perkotaan dapat mengurangi tekanan di pasar perumahan pusat kota yang cenderung lebih mahal. Atau mungkin memulai inovasi dalam desain perumahan. Mulai mendorong inovasi dalam desain perumahan, termasuk penggunaan material yang lebih terjangkau, teknologi efisien, dan konsep penggunaan ruang yang bijak, dapat membantu menurunkan biaya pembangunan.

Tetapi tetap saja kalua seluruh dana pembangunan tersebut tetap dikorupsi ya, mau pembangunan seperti apapun tidak akan pernah sukses. Memang solusi paling ampuh itu menghentikan siklus korupsi pembangunan yang menggerogoti pembangunan kota-kota ini. Termasuk pembangunan rumah-rumah terjangkau yang layak untuk dihuni para generasi Z. Tolong untuk bapak presiden selanjutnya, semoga bisa betul betul peduli dengan generasi Z, bukan hanya para generasi tua saja. Jangan hanya saat kampanye saja berbicara dengan bangga kalua mereka peduli generasi Z dan mulai bikin konten kampanye yang bisa menggaet generasi Z, tetapi saat jadi presiden jangankan ingat, mau dengar generasi Z saja sudah tidak mau.