Gibran Bukan Jokowi


1 Desember 2023
Abu Thio, Kolumnis

Banyak orang persepsikan kalau Gibran itu pasti sama dengan Jokowi. Mungkin termasuk Prabowo juga persepsikan hal yang sama. Itu salah besar.

Pemimpin negara berkaitan dengan takdir atau garis tangan. Memang takdir baru bisa kita ketahui setelah terjadi, namun kita bisa belajar dari tanda tanda sebelum takdir itu terjadi.

Diakui atau tidak, Jokowi bisa jadi presiden, karena beliau termasuk kategori anak ajaib,. Darimana bisa membaca tanda tanda keajaibannya? Jawabnya adalah, dari adanya perjuangan panjang masa kecilnya, telah ditempa oleh alam, menjadi pribadi yg amat berbeda dibanding orang pada umumnya.

Lihat masa kecilnya, 32 tahun masa orba hidup dalam situasi yang amat sulit. Dilansir dari laman berita.99.co/kisah-masa-kecil-jokowi/, bahwa Jokowi terlahir di keluarga sederhana yang sering mengalami kesulitan ekonomi. Konon, Jokowi sering pindah rumah karena rumah yang ia tinggali pernah digusur sampai tiga kali. Sejak kecil Jokowi terkenal sebagai seorang pekerja keras. Di usianya yang masih kecil, rela melakukan apapun demi mendapatkan uang, seperti berdagang, menjadi ojek payung, sampai rela menjadi kuli panggul serta menjadi tukang kayu. Hal ini harus ia lakukan demi dapat memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya. Masa kecilnya yang miris membuat kehidupan Jokowi berbeda dengan teman-teman sebayanya. Saat teman-temannya menggunakan sepeda untuk pergi sekolah, Jokowi lebih memilih untuk berjalan kaki.

Kesulitan hidup, kesulitan ekonomi, kesulitan mendapat pendidikan, tetap dengan gigih diperjuangkan yang akhirnya lolos melewati semua itu, dan tumbuh menjadi pribadi yang kuat, mental yang tangguh dibanding orang orang biasa. Dua kali menang pilkada Surakarta, lalu menang di pilkada DKI, dan akhirnya dua kali menang di perhelatan tertinggi di Indonesia yaitu Pilpres. Kenapa kok bukan lahir di Cendana, atau di Menteng, Pondok Indah, atau di komplek perumahan DPR MPR stau semacamnya? Maka itulah yang kita sebut anak AJAIB.

Apakah Gibran memiliki kisah yang sama? Oh No.

Gibran lahir didalam era yang sudah makmur, orang tuanya sudah makmur, jauh dari kesulitan hidup, kesulitan ekonomi, atau kesulitan mendapatkan pendidikan. Bahkan Gibran bisa sekolah di luar negeri, bukan beasiswa, itu gambaran bahwa Gibran memiliki orang tua yang sudah mapan.

Gibran tidak susah-susah berjuang sebagaimana orang tuanya, mau bisnis sudah disiapkan modalnya, mau jadi walikota, dengan mudah menggusur calon lain yang sudah dipersiapkan oleh partai pengusung sebelumnya, mau jadi cawapres, juga dengan mudah dibantu orang tua, dibantu paman, dibantu kolega, bahkan mengacak-acak konstitusi pun ternyata bisa.

Salah satu filosofi orang Jawa adalah “Orang Jawa bekerja keras untuk meraih sukses, dengan tujuan agar kelak anaknya hidupnya enak.” Biarlah orang tua bersusah payah, agar anaknya tidak susah sebagaimana orang tuanya. Filosofi ini sesungguhnya sama dengan menuntun anak dipinggir jurang. Orang tua tiada, anak kejebur jurang.

Alam semesta memiliki system the balance of nature, bahwa bumi bisa berputar karena balance, sebagaimana roda mobil, kalau ngga balance pasti harus di balancing. Enak dan tidak enak, indah dan tidak indah, nikmat dan tidak nikmat, selalu dikembalikan pada system balance tersebut. Jika kita mau makan & minum enak, lezat, gurih, asin, manis terus menerus, maka yang akan terjadi adalah obesitas dan penyakit akan datang dengan berbagai macam. Begitu juga kalau kita mau hidup santai, mager, duduk & tidur, bahkan buka pintu mobil saja tidak mau, harus ada yang bukain, tidur pakai AC, di mobil pakai AC, ditempat kerja pakai AC, kerja tidak keringatan, tapi saat makan malah keringatan, maka hidup yang seperti itu tidak akan lama, usianya akan direnggut oleh alam dengan berbagai macam penyakit yang menggerogoti. Sebaliknya jika kita mengkonsumsi makanan yang tidak enak, jamu misalnya, rasanya pahit, lalu mau bersusah payah melakukan olahraga, maka badan akan sehat, pikiranpun sehat.

Itulah yang saya sebut dengan the balance of nature. Ini sesuai dengan lagu bang Rhoma Irama “Berakit rakit ke hulu, berenang ketepian”, bersakit sakit dahulu, bersenang senang kemudian. Jika masa kecil, masa muda mau enaknya saja, maka masa tua akan menderita, begitu juga berlaku sebaliknya.

Jadi sangat amat keliru jika kita menyamakan bahwa Gibran itu identik sama dengan Jokowi. Tapi masyarakat kadang tidak memikirkan sejauh itu, jangankan masyarakat, sekelas Prabowo saja, sepertinya tidak kepikiran.

Sangat tidak mungkin jika pemimpin negeri nanti adalah orang yang tiap hari hobinya main-main, main game, playstation, nongkrong sana nongkrong sini, ke cafe sana ke cafe sini, diskotik sana diskotik sini, joget sana joget sini, jelas tidak mungkin, kecuali mayoritas rakyat Indonesia ini telah kembali ke zaman jahiliyah.

Sangatlah mungkin, pemimpin negeri yang akan datang adalah orang yang sepanjang hidupnya sibuk dengan belajar, penuh dengan perjuangan, pengabdian kepada masyarakat. Bahkan pemimpin Indonesia Emas 2045 bisa jadi saat ini sedang belajar di pesantren, atau bahkan hidup di kolong jembatan, tapi sibuk dengan belajar, mengaji, ibadah, serta sekolah sambil cari nafkah.