
Oleh: Andi Muzakkir Aqil, SH., MH
Anggota DPR RI
Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya tidak hanya merusak individu, tapi juga mengoyak keberdayaan kolektif anak negeri. Mereka yang tersekap adiksi tak cuma kehilangan potensi. Dalam skala makro, fenomena ini berpotensi memutus mata rantai inovasi bangsa sekaligus merapuhkan narasi besar tentang Indonesia Emas 2045.
Maka sangat beralasan bila investasi negara pada generasi bangsa tidak melulu urusan bangku sekolah. Menjauhkan mereka dari jerat narkoba adalah investasi tak kalah penting di tengah penetrasi jaringan narkoba transnasional yang menunggangi kemajuan teknologi digital.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 5 Mei 2025, terungkap bahwa angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di tanah air adalah 1,73 persen. Angka ini setara 3,33 juta jiwa dari populasi usia 15–64 tahun, dengan mayoritas penyalahguna berada dalam rentang usia produktif, yakni 15–49 tahun.
Jika angka prevalensi itu diproyeksikan ke dalam jumlah narkoba yang beredar saat ini, maka lebih dari 20 ton narkotika berada di tengah-tengah masyarakat. Dalam setahun, nilai perputaran uangnya mencapai Rp500 triliun per-tahun. Data ini disampaikan Kepala BNN Komisaris Jenderal Polisi Dr. Marthinus Hukom saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama kami, Pimpinan dan Anggota Komisi III DPR RI.
Untungnya, Presiden Prabowo Subianto memiliki komitmen kuat pada pemberantasan narkoba. Gerakan memerangi peredaran narkoba menjadi program prioritas presiden, sekaligus fokus poin ke-7 Asta Cita. Dengan kata lain, semangat ini hidup sebagai program pembangunan nasional.
Sikap presiden memecut aksi kongrit dan inklusif. Tak heran, penangkapan terbesar sepanjang sejarah republik baru-baru ini diukir BNN. Sabu seberat dua ton berhasil disergap di perairan Batam, Kepulauan Riau, 26 Mei 2025. Nilainya mencengankan, ditaksir sekira Rp5 triliun.
Menjunjung Kemanusiaan
Seiring optimalisasi operasi di lapangan, penyempurnaan aturan main juga dimaksimalkan. Ini penting, agar proses penindakan tidak bias dan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Itu sebabnya perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika dan Psikotropika kami genjot setelah bertahun-tahun tak jelas penyelesainnya.
Sifat RUU ini didesain lebih humanis. Pertama, karena membedakan pengedar dan pemakai dengan parameter terukur. Dengan begitu aparat di lapangan diharapkan punya tolak ukur jelas sehingga dapat bertindak secara proporsional.
Ungkapan pengguna adalah korban sering terdengar. Tapi nyatanya, proses penindakan acapkali lompat pagar, keluar dari konteks. Tidak sedikit pecandu yang murni hanya hanya pemakai ditindak dengan pasal pidana. Alhasil, penjara disesaki generasi produktif yang seharusnya bisa diobati dan dikembalikan ke masyarakat.
Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (DitjenPas Kemenkumhan) mencatat lebih dari separuh penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) terkait kasus narkoba. Per-April 2024, dari total 271.385 tahanan, sebanyak 135.823 (52,97 persen) di antaranya adalah tahanan kasus narkoba.
Kedua, RUU Narkotika dan Psikotropika lebih humanis karena mengedepankan pendekatan rehabilitatif ketimbang jeruji besi. Tantangannya adalah jumlah sarana dan prasarana rehabilitasi tidak sebanding dengan penderita ketergantungan narkoba.
Supply and demand jauh dari kata proporsional. Dikutip dari Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan nasional (2022), fasilitas layanan rehabilitasi di Indonesia hanya sebanyak 932 unit. Mayoritas kabupaten/kota belum memiliki sehingga upaya terbaik adalah memanfaatkan fasilitas existing yang telah ada. Sebut saja rumah sakit, puskesmas, atau lapas.
Ironisnya, tidak sedikit kabupaten/kota rentan terjajah narkoba. Sebagai contoh, Kota Parepare, Sulawesi Selatan (Sulsel), daerah pemilihan sekaligus kota kelahiran saya. Menurut Kepala BNNP Sulsel Brigjen Pol Budi Sajidin, Sulsel sedang darurat narkoba, di mana Pintu masuknya melalui Kota Parepare.
Parepare bersama Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Pinrang memang dijuluki segitiga emas peredaran narkoba. Namun, sayangnya tidak ada pusat rehabilitas khusus narkoba di tiga wilayah itu. Pembangunan Rehabilitasi Khusus Narkoba di zona segitiga emas ini seyogyanya menjadi prioritas.
InshaAllah, Rumah Aspirasi AMAL (Andi Muzakkir Aqil) yang baru-baru ini saya resmikan di Parepare aktif berkontribusi pada gerakan anti narkoba. Setidaknya melalui langkah pre-emtif, preventif dan kuratif.
Bukan Keinginan
Tidak semua saudara kita yang terjajah narkoba, terjebak secara sukarela. Sebagian di antaranya mungkin saja terpeleset karena faktor kegagalan keluarga, kemiskinan, lingkungan kumuh, dan seterusnya.
Sesungguhnya, ada tanggung jawab kolektif kita pada tumbuhnya akar masalah itu. Maka negara harus hadir menyiapkan Solusi. Dan solusi terbaik bagi korban narkoba adalah rehabilitasi. Artinya, negara harus serius memikirkan realisasi pertumbuhan layanan rehabilitasi, tidak semata mengandalkan fasilitas existing di daerah.
Di tengah kocek APBN yang terbatas, pernyataan itu terkesan irasional. Tapi ketimbang mengelus dada, ada baiknya menyusun langkah maju dengan pola dan strategi bertahap. Pertama, memetakan kabupaten/kota yang menjadi episentrum perdagangan narkoba.
Datanya telah tersaji di BNN. Dari semua kabupaten-kota, kita prioritaskan berdasarkan yang paling membutuhkan, seperti Kota Parepare. Tak perlu bombastis, memang. Pembangunan satu atau dua atau tiga pusat rehabilitasi baru dalam setahun ke depan rasanya cukup. Paling tidak, kita memiliki progres, bukan mengembangkan wacana.
Kedua, mendorong pendanaan kolaboratif melalui optimalisasi peran swasta. Model kemitraan antara pemerintah (daerah) dengan pihak swasta adalah sebuah opsi. Contohnya Pemprov Maluku. Pemrov menyediakan lahan, sementara BNN mengelola pembangunan pusat rehabilitasi dengan dukungan CSR Perusahaan setempat.
Ketiga, penguatan kapasitas kelembagaan bagi yayasan atau organisasi, yang bergerak di bidang anti narkoba. Tujuannya agar mereka memiliki kualifikasi mumpuni untuk membangun kemitraan dengan lembaga internasional seperti WHO atau UNODC, baik di bidang moneter maupun non moneter. Di waktu yang sama, juga memberi kemudahan izin mendirikan pusat layanan rehabilitasi.
Langkah pencegahan tentu penting. Tapi dalam konteks menyembuhkan anak bangsa dari terjerat narkoba, ikhtiar terbaik adalah pemenuhan sarana-prasarana rehabilitasi. Agar mereka dapat kembali berdaya di tengah masyarakat, tidak layu sebelum berkembang.
Selamat Hari Anti Narkoba Indonesia (HANI) 26 Juni 2025.