Ironi Anak Abah di Pilgub Jakarta

Anies Baswedan memang sudah tak lagi menjadi bagian dari pilgub Jakarta, namun hiruk pikuk tentang Anies taka da mantinya. Betapa tidak, ketika elit partai beramai – ramai meninggalkan Anies, Anies dengan tenang dan optimis bahwa perjuangan perubahan belum selesai dan masih akan tetap menyala dihati seluruh rakyat Indonesia. Bahkan relawan Anies yang masih setia di Jakarta tetap menyuarakan perlawanan kepada para elit partai yang yang dianggap berkhianat terhadap aspirasi rakyat Jakarta. Coblos semua adalah pilihan mereka yang masih setia, dengan tujuan memberi pelajaran kepada partai politik yang tak lagi sejalan dengan aspirasi rakyat.

Dinamika politik Pilgub Jakarta adalah sebuah fonomena, tanda - tanda yang menggelitik hati mulai tampak jelas, elit partai yang seharusnya mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi warga Jakarta, kini justru meninggalkan perjuangan itu. Mereka yang dulu berada di barisan depan mendukung Anies Baswedan, kini memilih jalan pragmatis demi kepentingan kekuasaan. Kepentingan rakyat Jakarta yang ingin perubahan tampaknya tak lagi menjadi prioritas, digantikan oleh perhitungan politik jangka pendek yang menguntungkan segelintir elit partai.

Ironisnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di level elit partai. Lebih menyedihkan lagi, beberapa oknum yang dulu merupakan relawan Anies, kini ikut terbawa arus, mendukung pasangan calon (paslon) yang justru didukung oleh partai yang terang-terangan meninggalkan Anies. Dengan membawa-bawa nama Anies, mereka seolah-olah tetap memperjuangkan visi perubahan, padahal pilihan mereka berseberangan dengan prinsip-prinsip yang Anies dan para pendukung setianya perjuangkan.

Inilah ironi yang mencolok: nama besar Anies digunakan sebagai alat untuk mendukung kepentingan politik yang bertentangan dengan semangat perubahan yang ia bawa sejak Pilgub Jakarta. Para oknum relawan ini tampaknya lupa bahwa warga Jakarta, khususnya mereka yang dulu mendukung penuh Anies, tidak akan mudah tertipu oleh permainan politik yang tidak aspiratif ini. Warga Jakarta tetap cerdas dalam memilih, dan mereka paham bahwa perubahan sejati tidak bisa diperjuangkan dengan jalan yang pragmatis dan mengkhianati cita-cita awal.

Namun di tengah kebingungan ini, masih ada secercah harapan. Masih banyak relawan Anies yang setia, mereka yang konsisten dan tidak tergoda oleh kekuasaan. Mereka inilah yang sejak awal menjadi tulang punggung pergerakan, dan siap kembali memberikan pelajaran kepada para elit partai yang menutup telinga terhadap aspirasi rakyat. Mereka yang setia tahu bahwa politik tidak hanya soal perhitungan kursi, tetapi tentang memperjuangkan masa depan yang lebih baik bagi seluruh warga, terutama mereka yang suaranya sering diabaikan.

Bagi warga Jakarta yang menginginkan perubahan, kejadian ini adalah peringatan bahwa perjuangan mereka belum selesai. Justru di saat inilah mereka harus semakin waspada dan selektif. Relawan sejati Anies tetap berdiri teguh, memperjuangkan cita-cita awal yang digelorakan sejak Pilgub Jakarta. Mereka percaya bahwa Anies bukan sekadar simbol politik, tetapi representasi dari perubahan nyata yang berpihak pada rakyat, bukan elit yang mementingkan diri sendiri.

Dengan melihat fenomena ini, Pilgub Jakarta bukan hanya tentang memenangkan calon pemimpin, tetapi juga ujian bagi kesetiaan pada cita-cita perubahan. Rakyat Jakarta yang cerdas akan melihat bahwa jalan perubahan yang sebenarnya tak pernah mudah, tapi harus diperjuangkan dengan konsistensi, integritas, dan keberanian. Inilah Ironi Anak Abah yang nyata: ketika mereka yang dulu berjuang bersama kini tersesat, namun ada juga yang tetap setia pada arah perubahan sejati.

Bagi Anies ini adalah sebuah kenyataan yang Tuhan tunjukkan. Inilah jalan Tuhan membantu Anies melakukan seleksi alam terhadap para relawan dan simpatisannya, siapakah diantara mereka yang tetap istiqomah di jalan perubahan dan siapa yang berdalih mencari pembenar atas pilihan terlibat dukung mendukung paslon di Pilgub Jakarta. Tetaplah bersaudara, bagaimanapun mereka adalah saudara kita yang pernah bersama dalam barisan perubahan.

Suarabaya, 29 Sepetember 2024

M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya