Bahasan paling hangat di kalangan intelektual sepanjang pekan lalu adalah Muhamad Chatib Basri. Menteri keuangan selama 1,5 tahun di akhir masa jabatan Presiden SBY itu menulis di Kompas.
Intinya: jumlah kelas menengah di Indonesia turun. Terus menurun. Sejak tahun 2019. Sampai tahun lalu.
Itu lampu kuning yang bukan hijau. Negara akan kuat kalau kelas menengahnya terus membesar. Ini justru turun.
Kelas menengah yang dimaksudkan Chatib adalah orang yang pengeluarannya antara Rp 1,9 juta sampai Rp 9,3 juta/bulan.
Dengan patokan garis kemiskinannya adalah yang pengeluarannya Rp 550.000/bulan ke bawah. Yang berada di antara itu adalah mereka yang tergolong rentan miskin. Di atas rentan miskin masih ada calon kelas menengah.
Penurunan jumlah kelas menengah tentu mengagetkan. Rupanya inilah jawaban ilmiah mengapa para pengusaha merasakan lesunya pasar. Juga menurunnya daya beli. Sepinya dagangan.
Para pembela pemerintah tentu mudah cari penyebab yang halal: Covid-19. Itu memang betul. Tapi jangan juga sebatas itu. Penurunan tersebut, tulis Chatib, sudah terjadi sejak tahun 2019: sebelum Covid.
Tahun 2019 jumlah kelas menengah turun dari dari 23 persen menjadi 21 persen. Tahun 2023 turun lagi jadi 17 persen.
Angka penurunan di kelas menengah itu masuk ke kelompok calon kelas menengah. Karena itu jumlah calon kelas menengah naik –meski pun sebagiannya juga turun ke kelompok rentan miskin.
Alhamdulillah, angka kelompok terbawah tidak meningkat. Penyebabnya jelas: ditopang oleh bansos. Maka Chatib juga mengusulkan adanya 'bansos' untuk kelas rentan miskin dan calon kelas menengah.
Jangan-jangan penurunan itu sebagian akibat jadi korban judi ">online –maka ada ide mereka juga dapat bansos.
Chatib tidak memasukkan faktor judi online ke dalam angkanya. Maka angka belanja untuk judi online mestinya dibuka saja –untuk kepentingan statistik pengambilan keputusan.
Chatib mengusulkan ''bansos'', terpenting bagi kelas menengah, kelas rentan miskin, dan calon kelas menengah adalah lapangan kerja. Juga investasi untuk industri seperti pariwisata dan industri kreatif.
Saya mencatat penyebab lain penurunan itu. Dan ini sangat dirasakan oleh dunia usaha: sulitnya mencari sumber pendanaan.
Kelihatannya kredit macet di BUMN-BUMN tidak ada hubungannya dengan sektor swasta. Ada. Bank kini lebih keras ke sektor swasta. Kesulitan bank oleh perilaku BUMN seperti dibebankan ke sektor swasta.(Dahlan Iskan)