Oleh: Dahlan Iskan
AHLI KANKER ini tidak menyangka ikut diundang Rektor Universitas Airlangga Prof Dr Mohammad Nasih SE MT Ak. Undangannya mendadak. Dalam setengah jam sudah harus sampai rektorat. Acara makan siang Jumat lalu itu ia tinggalkan. Meski tanpa penjelasan mengapa diundang, ia memastikan: pasti soal pemecatan dekan fakultas kedokteran.
Ia adalah Prof Dr Ario Jatmiko. Sebenarnya sudah beberapa tahun terakhir Prof Mik lebih banyak tinggal di Melbourne, Australia. Tapi setiap kali Melbourne di puncak musim dingin, ia pulang ke Surabaya. Lalu balik Melbourne ketika udara sudah mulai hangat.
Usianya 74 tahun. Setelah lulus Unair Prof Mik memperdalam ilmu kanker di Belanda. Ia membangun rumah sakit onkologi miliknya di Surabaya. Maju sekali.
Rektor Unair tahu Prof Mik lagi di Surabaya. Tahunya bukan dari musim dingin, tapi dari peristiwa demo menentang putusan rektor. Prof Mik memang ikut demo Kamis lalu. Juga menyampaikan orasi. Itulah demo para dokter untuk menolak pemecatan Prof Dr Budi Santoso dari jabatan dekan. Lebih 100 orang dokter yang ikut demo. Banyak pula yang profesor kelas begawan.
Orasi yang paling keras adalah yang disampaikan Prof Dr Abdul Hafid Bajamal SpBS. Ia ahli bedah saraf. Saya kenal lama beliau: berhasil melakukan operasi saraf pinggang istri saya lebih 15 tahun lalu. Istri tidak lumpuh. Sehat. Sampai sekarang.
Prof Hafid-lah yang dalam orasinya mengajak mogok. Agar para dokter mogok mengajar di fakultas kedokteran Unair.
Tapi ajakan itu sebatas orasi. Pembicara berikutnya, Prof Dr Puruhito mengatakan tidak harus sampai mogok. Kalau para dokter mogok banyak yang dirugikan –padahal tidak ada hubungannya dengan pemecatan. Misalnya mahasiswa kedokteran.
Prof Ito –panggilan akrab ayatullah bedah jantung Indonesia itu juga minta agar demo tidak anarkis. Akan lebih merugikan Unair. Prof Ito, mantan rektor Unair, juga minta jabatan Prof Bus dipulihkan.
Begawan Unair yang juga ikut demo adalah Prof Dr Dikman Angsar SpOG(K). Prof Dikman juga diundang dialog dengan rektor. Hadir. Bahkan jadi orang yang pertama bicara. Sedang Prof Puruhito tidak bisa memenuhi undangan karena ada tugas lain.
"Saya hadir karena undangan tersebut saya artikan rektor sudah mau membuka pintu dialog," ujar Prof Mik.
Saya makan siang dengan Prof Mik kemarin. Di rumah saung saya. Istri lagi masak soto Banjar paling enak. Rombongan pesepeda anak saya juga memilih finis di soto Banjar.
Prof Mik selalu menghargai dialog. "Ciri masyarakat intelektual adalah mengutamakan dialog dalam menyelesaikan perbedaan. Main SK pemecatan adalah ciri main kekuasaan," ujarnya.
Apalagi, katanya, salah satu tujuan Unair adalah melahirkan Ksatria Airlangga. Seperti dalam hymne-nya. "Kini ada Ksatria Airlangga yang dibunuh," ujar Prof Mik.
Prof Budi Santoso pastilah salah satu Ksatria Airlangga yang dimaksud. Kalau tidak, Prof Bus tidak mungkin terpilih sebagai dekan.
Memang Prof Bus –panggilan Prof Budi Santoso– mungkin melampaui kewenangannya. Yakni mengatasnamakan Universitas Airlangga dalam memberikan pendapat menolak dokter asing. Tapi perbedaan pendapat itu mestinya bisa diselesaikan dengan dialog. "Toh tujuannya sama. Demi nama baik Unair," ujar Prof Mik.
Ia melihat dialog Jumat lalu sangat baik. Rektor lebih banyak mendengar. Begitu acara dimulai rektor langsung meminta para guru besar itu bicara. Tanpa ada pidato pengantar dari rektor.
Prof Dikman yang pertama bicara. Lalu semua yang hadir. Tidak ada yang mempersoalkan pokok masalah: dokter asing. Pokok masalah hari itu adalah pemecatan dekan FK Unair. Mereka minta agar Prof Bus dikembalikan ke posisinya.
Rektor juga tidak memancing perdebatan. Tidak mau membuka alasan mengapa memecat Prof Dekan. "Pasti ada alasannya, tapi tidak semua bisa dibuka," begitu kata rektor. Lalu ia mengatakan hasil dialog itu akan dirapatkan di rektorat. Selesai.
Tentu para pendukung Prof Bus menunggu putusan rapat itu. Banyak Ksatria Airlangga yang lagi gundah. (*)