Makna Mengetahui yang Ghaib dan yang Nyata

Sebelum membahas metodologi penelitian kualitatif yang dilandasi pemikiran al Quran, rasanya perlu membahas masalah apa yang dimaksud ghaib dan nyata (penggunaan akal). Selain ayat yang terkait dengan makna ghaib, juga disebutkan dalam beberapa ayat terkait makna penggunaan akal (lihat antara lain, al Fajr, 5; at Taha, 54; Sad, 29; Ibrahim, 52; al Imran, 190; ar Ra’d, 19 dan masih banyak lagi). Memang ayat-ayat tersebut tidak langsung menyebut penggunaan akal, tetapi apabila kita siratkan maka hanya orang-orang yang menggunakan akalnya yang bisa menerima makna al Quran.

Penggunaan akal/pikiran boleh dan harus dilakukan oleh siapa saja. Tetapi apabila mengikuti ajaran Islam, kita harus mengaitkannya dengan makna ghaib. Artinya, kita jangan hanya mengikuti yang masuk akal saja, misalkan pengunaan indera saja, penggunaan pengalaman atau empiris saja, tetapi mari kita juga pahami tengtang makna ghaib. Allah swt tidak akan menciptakan sesuatu yang berlawanan dengan akal (rasio).

Oleh karena itu, dalam al Quran disebutnya makna ayat yang terkait pemahaman yang ghaib dan yang nyata itu lebih dari 53 ayat, di antaranya al Qalam, 47; al Jinn 26; at Tur 41; al Mu’minun 92; as Saba 48; az Zummar 46; an Naml 74 dan masih banyak lagi. Oleh karenanya, bila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, seharusnya hal ini diikutkan. Ghaib dapat diartikan hal-hal yang terjadi di luar kemampuan akal/pikiran manusia. Sebagai contoh adalah mengenai masa depan. Tidak seorangpun yang bisa menjawab apa yang akan terjadi di masa mendatang, bahkan lima menit yang akan datangpun kita tidak tahu. Tetapi kita harus membuat proyeksi tentang apa saja yang kita harapkan di masa yang akan datang.

Perlu dipahami bersama bahwa pengertian ghaib itu bukan hanya sesuatu yang terkait dengan jin atau syaitan saja atau hal-hal yang aneh-aneh, tetapi apa-apa yang terhalang dari indra dan akal kita yang terbatas, sehingga termasuk di dalamnya yaitu pemahaman ilmu pengetahuan yang kelihatannya menyimpang dari nalar atau kebiasaan orang sehat. Tetapi apabila direnungkan secara sehat, terbukti bahwa pemahaman demikian itu masuk akal yaitu berIslam dengan benar.

Sebagai contoh, kejadian gempa bumi di Palu, Sulawesi beberapa tahun yang lalu. Akibat gempa tersebut terjadilah likuifaksi, yaitu tanah yang berubah menjadi benda cair, sehingga segala benda yang berada di atas tanah akan tenggelam. Pemahaman seperti ini ada di dalam ilmu pengetahuan alam, sehingga akan dikatakan wajar (penggunaan akal). Untuk itu banyak ilmuwan yang sesuai dengan bidangan yang bisa menjelaskan penyebabnya. Tetapi ada sesuatu hal yang agak tidak masuk diakal sehat, yaitu waktu kejadian likuifaksi di Palu ada sebuah rumah yang hanyut pada waktu kejadian tersebut. Secara teoritis, rumah yang terbuat dari batu merah, kayu, semen dan genteng itu seharusnya juga amblas ke dalam tanah. Tetapi mengapa bisa hanyut. Setelah diteliti, ternyata di dalam rumah tersebut terdapat 3 (tiga) orang yang hafid al Quran. Lalu apa hubungannya dengan kehanyutan rumahnya, wallahu alam bishawab. Hal tersebut bisa terjadi karena kehendak Allah se mata. Oleh karena itu, hal di atas saya katagorikan sebagai hal yang ghaib. Maka pemahaman ghaib itu tidak selalu terkait dengan syaitan atau jin, tetapi hal-hal yang diluar nalar orang sehatpun bisa dikategorikan sebagai ghaib.

Demikian pula kejadian tsunami di Jawa Barat beberapa tahun yang lalu. Grup band 17 beserta seluruh anggotanya yang sedang di panggung terhempas ombak dan hanyut entah kemana. Demikian pula para penonton banyak yang hilang. Tetapi ada sebuah mushola yang juga terletak dipinggir pantai, tidak terbawa ombak, bahkan orang-orang yang berada di dalamnya aman. Meski setelah diteliti, ustad yang sedang berada di dalam mushola sedang mengajarkan menghafal al Quran. Hal ini tidak masuk di akal sehat, tetapi karena Allah menghendaki, maka terjadilah (kun fayakun). Seharusnya, segala sesuatu yang berada di pantai, daerah tsunami, akan ikut terhempas ombak, tetapi tidaklah demikian kenyataannya dengan mushola. Kejadian ini juga menyiratkan keghaiban. Hal ini juga bukan syaitan atau jin, bila Allah menghendaki semuanya bisa terjadi. Oleh sebab itu makna ghaib harus diluaskan artinya, karena bagiNya tidak ada yang tersembunyi, baik di bumi maupun di langit, yang disembunyikan, yang di hati, dan lain-lain ( lihat Ali Imron 5; al Hujurat 18; an Naml 74).

Juga kejadian pada meletusnya gunung Semeru Jawa Timur, beberapa tahun yang lalu. Secara keilmuan benda cair itu tidak akan mengalir ke atas, pasti mengalir kebawah. Sebetulnya antara logika/nalar/keyakian manusia itu akan sama dengan Allah (pahami yang nyata). Jadi sewatu lahar panas mengalir kebawah, semua yang terkena aliran akan rusak. Tetapi anehnya pada waktu mengalirnya, ada sebuah rumah yang kelewatan lahar panas tersebut, tetapi laharnya tidak masuk ke halaman, apa lagi rumahnya (tidak kemasukan sama sekali). Padahal truk yang diparkir di jalanan depan rumahnya tidak bisa dipakai karena terkena lahar panas dan rusak. Apalagi setelah lahar dingin, seperti tanah. Setelah diselidiki ternyata si pemilik rumah adalah orang yang suka besedekah. Inilah yang ghaib, tidak masuk dipikiran manusia. Tetapi bila Allah menghendaki, kun fayakun, maka terjadilah hal itu.

Mengikuti pemahaman yang kita peroleh dari Barat, logika kapitalisme /mainstream), maka kejadian ini tidak bisa digeneralisasi, karena kejadiannya hanya tunggal. Pada kejadian tersebut, harus dipahami bahwa itu adalah kehendak Allah swt. Apabila Dia berkehendak (kun fayakun), beliau berniat menyelamatkan seseorang dari kematian, apa saja caranya tidak akan mengikuti logika manusia. Tetapi itu adalah kehendakNya (kun fayakun), maka apa saja yang dikehendaki akan terjadi.

Selanjutnya hal yang terkait dengan pengalaman pribadi penulis. Selama 3 periode (mulai tahun 2005 @ 4 tahun, sebenarnya sejak tahun 1982an saya sudah mengurus IAI Jawa Timur), saya ditunjuk oleh anggota untuk menjadi Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Wilayah Jawa Timur (Jatim). Harus diingat, bahwa pada waktu itu, sekitar tahun 2016, hanya IAI Jatim sajalah yang mampu membeli kantor. Darimana dananya? Dari program Pelatihan Manajemen Keuangan Desa, se Jawa Timur, sebanyak hampir 7.800 desa. Keputusan ini dilakukan oleh Gubernur Jatim, Soekarwo (waktu itu). Karena beliau tidak ingin bila seorang lurah (kepala desa/kades) yang oleh karena ketidak tahuannya cara membuat laporan keuangan, sehingga kades tersebut harus masuk penjara. Oleh sebab itu, lurah (kepala desa) dan perangkat/pengurus desa diwajibkan mempelajari serta mengikuti Latihan Manajemen Keuangan Desa. Dimana ghaibnya, yaitu bagaimana seorang gubernur bisa mengingat seorang Tjiptohadi. Hal ini dibuktikan dengan memo yang ditulis oleh pak Gubernur (waktu itu) untuk Ketua Badan Pendidikan dan Latihan (Diklat), bu Nawang Ardiani. Inti memonya yaitu pernyataan bahwa yang bisa melakukan pelatihan ini adalah Tjiptohadi/IAI Jatim. Subhanallah. Dari dana itulah IAI Jatim mampu membeli kantor. Meskipun, setiap pengajar Manajemen Keuangan Desa dipotong honornya untuk membeli kantor. Dalam pemotongan honor ini adalah penggunaan akal yang harus dikombinasikan dengan hal-hal yang ghaib tadi. Apabila ingin diketahui apa hubungan antara gubernur pribadi dengan penulis, yaitu sebenarnya bapak gubernur Soekarwo itu sudah saya kenal sejak tahun 1997an, sewaktu beliau memimpin Dinas Pendapatan Daerah. Akuntansi yang berjalan pada waktu itu adalah ciptaan saya. Tetapi ghaibnya itu, yaitu mengapa tiba-tiba pakde Karwo menunjuk saya/IAI sebagai pelaksana, sehingga IAI mampu membeli bangunan untuk kantornya. Padahal, sejak beliau diangkat menjadi Gubernur Jawa Timur, tidak sekalipun saya menampakkan diri dalam segala acara yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Masih dikaitkan dengan pejelasan ghaib (yang harus dipahami bukan hanya jin dan syaitan), yaitu keberhasilan menggunakan teori-teori yang ada. Entah itu terkait pemasaran, manajemen umum, atau lainnya. Andai karena mengikutinya dan berhasil, misalnya IAI Jatim berhasil menjual produk-produknya, berupa berbagai pelatihan yang ada, apakah itu karena menerapkan teori atau karena Allah menghendakiNya. Kalau menurut pendapat saya yaitu karena keduanya, karena keberhasilan menerapkan teori yang ada (baik itu beriklan, pembuatan brosur, penggunaan teknologi) serta karena atas ijin Allah semata. Andaikan tidak, mungkin IAI Jatim tidak akan sebesar ini. Oleh karenanya, percayalah pada hal yang bersifat ghaib, tetapi harus disertai penggunaan akal kita.

Lalu terkait dengan tanaman. Pada tanah yang subur, secara teoritis apapun yang ditanam asal cara menanamnya mengikuti teori yang benar (yang nyata), maka insya Allah akan tumbuh dan berkembang (lihatlah al Waqiah ayat 63 – 65). Tetapi siapakah yang membuat tumbuh, apakah kita atau Allah swt. Karena bila tidak atas kehendakNya, bisa saja tanaman itu mati, meski ditanam ditanah yang subur. Saya berpendapat, bahwa kita manusia dengan menggunakan akalnya (teori tentang tanah dan tanaman) akan menanam tanaman, secara teori akan tumbuh. Tetapi yang membuat tanaman itu tumbuh dan berkembang adalah Allah swt, yang menurut istilah saya yang ghaib itu.

Demikian juga kalau kita pikir, mengapa sebelum kita mengerjakan sesuatu, kita harus mengucapkan bismillah hirrohman nirrohim. Apa relevansinya dengan penggunaan akal? Kalau hal ini dianggap hal yang ghaib, mungkin bisa dianggap demikian, karena memang betul. Hal ini mungkin terjawab dengan penelitian yang dilakukan oleh orang Jepang, Dr. Masaru Emoto (2003) bersama temannya Kazuga Ishibashi. Mereka membuat penelitian terkait air, bahkan mereka menggunakan foto molekul. Hasilnya, ternyata molekul air itu apabila didoakan yang baik-baik, maka molekul air itu bila ditofo akan berubah menjadi gambar yang bagus. Tetapi apabila disumpahi, maka foto molekul air itupun akan menjadi buruk. Dengan lain perkataan, ternyata air yang dianggap benda mati itu ternyata berubah molekulnya apabila dibacakan doa, tergantung pada jenis doanya. Mempertimbangkan hal ini, maka umat Islam sebaiknya melakukan penelitian lebih lanjut guna menjelaskan hal yang lain-lain yang terkait kewajiban manusia untuk mengucapkan bismillah setiap memulai pekerjaan. Maka lakukanlah penelitian (sesuai bidang ilmunya) untuk menjelaskan makna mengucap bismillah sebelaum kita mengerjakan sesuatu.

Kembali kita harus melihat orang Jepang yang melakukan penelitian. Pada thn 2016, Yoshinori Ohsumi menemukan apa yang disebut autophagy. Hal ini dapat disederhanakan bahwa protein itu akan menggantikan cel-cel yang aus dan perlu diganti (autophagy controls important physiological functions where cellular components need to be degraded and recycled. Autophagy can rapidly provide fuel for energy and building blocks for renewal of cellular components, and is therefore essential for the cellular response to starvation and other types of stress. After infection, autophagy can eliminate invading intracellular bacteria and viruses).   (lihat lagi  https://www.nobelprize.org/prizes/medicine/2016/press-release/ ) Andai hal itu bisa dikaitkan dengan covid 19, maka yang ghaib itu adalah mengapa kita disunnahkan untuk puasa setiap Senin dan Kamis. Kembali mari kita lakukan penelitian bidang ini sesuai dengan keahlian umat.

Selanjutnya masalah covid – 19 yang menjadi momok (pandemi) saat ini. Memang kita harus mematuhi hasil pemikiran orang (penggunaan akal manusia), yaitu tentang mencuci tangan, menjaga jarak, serta menggunakan masker (3 M). Tetapi mengapa orang yang sudah menggunakan masker tetap saja bisa tertular. Bahkan para dokter dan ternaga kesehatan yang setiap hari bergumul dengan penyakit itu ada yang terkena dan ada yang tidak. Bahkan orang yang serumah saja, ada yang terkena juga ada yang tidak, tidak semuanya. Selain itu, bagaimana bisa tertular pun masih menjadi pertanyaan. Penyebaran penyakit ini tidak asal melanggar protokol kesehatan, tetapi memang aneh. Tidak semua orang yang melanggar protokol yang terkena, tetapi sangat tergantung pada hal tertentu. Bila kita melihat video (dr Arifin) yang linknya bisa diakses ini, (https://youtu.be/X1vKSxLdU3Y ) semua itu akan terjawab, yaitu bila Allah menghendaki, orang itu bisa tertular atau bahkan sampai meninggal dunia, semuanya akan terjadi “kun fayakun”. Inilah pemahaman makna ghaib.

Selain masalah covid, kita barusan menerima berita bahwa salah satu pesawat Sriwijaya Air jatuh (9 Januari 2021). Karena jatuh, secara logika/empiris, semua penumpang pasti wafat. Hal itu terbukti, apalagi jatuhnya di laut. Tetapi masih ingatkah kita akan kejadian 11 November 1978, sewaktu pesawat jemaah haji kloter 1, jatuh di Colombo (pulang dari haji dan lewat Colombo). Dua orang selamat, yaitu pak Pitojo Hamidjojo dan pak Soeharto Sastrodihardjo (kebetulan dua-duanya saya kenal). Mungkin sewaktu pesawat jatuh atau meledak, pak Pitojo pingsan, sehingga keluarganya dikabari bahwa beliau termasuk salah satu korban meninggal. Tetapi mungkin karena beliau masih bergerak, sehingga sewaktu sadar beliau sudah berada di rumah sakit, maka keluarganya dikabari bahwa ternyata pak Pitojo masih hidup. Pak Pitojo baru wafat 27 Juli 2004, sedangkan pak Soeharto sampai ditulisnya buku ini masih sehat. Sungguh tidak masuk akal. Tetapi apabila Allah menghendaki “kun fayakun” semuanya bisa terjadi. Secara nalar sehat, orang akan meninggal semua apabila pesawat jatuh, seperti apa yang terjadi pada Sriwijaya Air. Tetapi apabila Allah berkehendak lain, maka hal yang ghaib itu bisa terjadi. Oleh karenanya saya menolak anggapan bahwa hanya daya pikir orang yang digunakan, bukan hanya masalah akal, pengalaman, hipotesa/empiris saja. Sebagai umat Islam, kita harus meyakini ada hal yang masuk diakal, tetapi ada hal yang ghaib yang harus pula diyakini. Semua ini menyatu sebagai cara Islam meyakini kejadian di dunia, termasuk dalam ilmu pengetahuan.

Demikian juga sewaktu jatuhnya pesawat Lion Air pada akhir November 2018. Marilah kita mengingat hal yang ghaibnya waktu kejadian itu. Apabila kita mengingat kejadian ini, salah satunya yaitu terlambatnya seorang penumpang yang masih di dalam sebuah taksi. Penyebab keterlambatan ini yaitu macetnya jalan di Jakarta. Kita bisa bayangkan, betapa marahnya sang calon penumpang yang dalam taksi karena jalan macet. Apa lagi setibanya di counter tiket karena terlambat maka penerbangannya terpaksa tertunda. Maka bisa dibayangkan kemarahan calon penumpang tersebut. Tetapi keadaan menjadi berubah total, setelah dia mengetahui bahwa pesawat yang seharusnya dia tumpangi jatuh, dia pasti orang itu bersyukur. Mengapa dia yang terlambat atau dia yang diselamatkan oleh Allah swt, wallahu alam bisawab. Inilah masalah yang saya maksud ghaib itu.

Maka selain memahami makna ghaib, kita sebaiknya juga menggunakan akal pikiran kita. Demikian pula untuk memahami metodologi penelitian. Maka pelajarilah bahwa sebagian besar ilmu yang kita terima itu yang hanya menitik beratkan pada penggunaan akal. Padahal, selain hal itu (penggunaan akal), kita wajib pula memahami hal-hal yang ghaib.

Prof. Tjiptohadi Sawarjuwono, Ph.D., Guru Besar Emeritus Akuntansi FEB Unair Surabaya