Oleh: Ady Amar, Kolumnis
Meski Anies Baswedan punya elektabilitas tinggi memenangi kontestasi Pilkada Jakarta 2024 itu tak serta merta ia bisa berlaga jika tak ada partai yang mencalonkan. Perhelatan Pilkada Jakarta 2024 dibuat seakan menguncinya.
Partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) mencoba merangkul partai yang saat Pilpres 2024 tergabung dalam Koalisi Perubahan dalam mengusung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar--NasDem, PKB dan PKS.
Gayung pun bersambut dalam memenuhi pinangan KIM tentu dengan argumennya masing-masing. Semua berharap masuk dalam lingkaran kekuasaan. Setidaknya ada kursi menteri bisa didapat. Tak perlulah ada partai yang bersungut-sungut tak hendak mengakui bagian dari persekongkolan jahat membegal Anies.
Tabiat Partai NasDem dan PKB selama ini memang nyaman dalam kekuasaan. Sedang PKS selama ini dikenang menjunjung value keadaban dalam berpolitik. Bagi PKS berada di dalam kekuasaan atau di luar kekuasaan sama mulianya.
Tapi sayang di Pilkada Jakarta 2024 ini keadaban PKS justru luntur. PKS terjerembab memilih sikap pragmatis dengan meninggalkan Anies yang semula didukungnya. Tawaran Koalisi Indonesia Maju (KIM) mampu mengubah marwah PKS dengan bersepakat memilih bagian dari KIM sambil mengunci Anies agar tak berlaga dalam Pilkada Jakarta 2024.
Jika ketidakikutsertaan Anies dalam Pilkada Jakarta 2024 itu terjadi, maka diakui atau tidak itu buah kerja partai yang bergabung dalam KIM termasuk PKS. Jagoan yang dimunculkan KIM di Pilkada Jakarta 2024--konon Ridwan Kamil (Golkar) yang berpasangan dengan Suswono (PKS) atau dengan Kaesang Pangarep. Tak disisakan lawan buatnya kecuali kotak kosong. Bisa dicarikan nama tertentu dari anggota KIM yang sudi pasang badan sebagai penantangnya.
Tepat jika disebut manusia kotak kosong. Siapa saja yang berperan menjadi kotak kosong sejatinya manusia tanpa otak, karenanya tanpa punya rasa malu diri yang diserupakan dengan kotak kosong.
KPUD Jakarta konon (akan) mempersiapkan calon independen yang diloloskan semata untuk menantang kekuatan jagoan KIM Plus. Calon independen--yang dipersiapkan--itu pun bisa disebut manusia kotak kosong. Biasa pula disebut dengan calon boneka. Sebutan manusia kotak kosong sepertinya lebih pas disematkan pada mereka yang ditampilkan melawan nalar sempurna.
Manusia kotak kosong dimunculkan guna menyiasati kotak kosong yang pertama-tama pernah dipakai dalam Pemilihan Wali Kota Makassar 2018. Kotak kosong yang justru keluar sebagai pemenangnya. Rakyat melawan dengan cara memilih kotak kosong.
Belajar dari kasus Makassar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak mau sang putra sulung Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa, yang maju di Pemilihan Wali Kota Solo ditandingkan dengan kotak kosong. Karena semua partai berebut mengusungnya, kecuali PKS. Maka dicarikan manusia kotak, atau calon boneka.
Adalah Bagyo Wahyu, yang berprofesi sebagai tukang jahit dipasangkan dengan FX Suparjo yang seorang Ketua RW. Dialah yang tampil sebagai manusia kotak kosong agar Gibran punya lawan berwujud manusia. Bukan melawan kotak kosong. Dan benar saja Gibran-Teguh Prakosa yang didukung 9 partai menang telak dengan 86,5% suara. Sedang lawannya si manusia kotak kosong dengan 13,5% suara.
Jika Pilkada Jakarta 2024 tak menyertakan Anies yang punya elektabilitas tinggi, maka yang muncul bisa dipastikan manusia kotak kosong. Tampil sebagai lawan yang tak sepadan dengan jagoan yang diusung KIM Plus. Demokrasi siasat terus dimainkan tanpa risih. Hak warga negara untuk ikut berpartisipasi dijegal dengan kasar. Khususnya hak rakyat Jakarta untuk memilih calon yang diinginkan tak diberikan.
Bisa dipastikan partisipasi keikutsertaan warga Jakarta dalam Pilkada Jakarta 2024 akan menurun tajam. Tak mustahil pada saatnya rakyat Jakarta khususnya akan menghukum partai yang berlagak tuli yang tak mau mendengar aspirasi konstituennya.**