Oleh: Ady Amar, Kolumnis
Berpisah pada keadaan apa pun dan peristiwa apa pun, itu hal biasa. Semua bisa berpisah dengan siapa saja yang disayangi, yang disuka dan, atau yang sekian lama berjalan bersama dalam kebersamaan. Berpisah dalam konteks apa pun, baik pribadi maupun kelompok, itu hal manusiawi.
Maka tidaklah sesuatu jika partai berlompatan berkoalisi dengan partai lain yang dipilihnya dengan meninggalkan partai sebelumnya. Begitu pula dengan individu tertentu yang sekian lama diusung karena memenuhi persyaratan, dan tentu kesamaan frekuensi. Namun tiba-tiba kebersamaan itu perlu disudahi. Menyudahi oleh sebab melihat ada pilihan lain yang lebih menarik dan menjanjikan.
Setidaknya itu yang dialami Anies Baswedan yang "disudahi" kerjasamanya dengan PKS. Argumen "melepas" Anies bisa dibuat meski terkesan absurditas. Tak lagi perlu memikirkan pemilih Anies itu beririsan dengan pemilih PKS. Menganggap itu soal kecil yang tak kan mempengaruhi elektabilitas partai pada perjalanan waktu.
PKS tak lagi mengusung Anies itu menjadi mudah dilakukan. Argumen yang disampaikan, bahwa partainya tak bisa mencalonkan Anies tanpa koalisi dengan partai lain. Kesalahan lalu perlu ditimpakan pada Anies, yang tak mampu meyakinkan partai lain untuk berkoalisi dengan PKS. Seolah bukan tugas partai tapi tugas kandidat yang diusungnya.
Mengikat Anies dengan Muhammad Shohibul Iman (MSI) menjadi calon wakil gubernur dalam satu paket, lalu coba menjajakkan setidaknya lewat media massa, itu bukanlah keseriusan. Tersurat kesan pun muncul, bahwa syarat koalisi dengan PKS mesti sepakat sepaket Anies berpasangan dengan MSI.
Model menjajakan ala PKS ini mungkin baru satu-satunya yang pernah terjadi. PKS menutup mendiskusikan dengan duduk bersama membicarakan lebih jauh siapa yang berhak berpasangan dengan Anies. PKS seolah tunggu respons saja dari partai lain khususnya NasDem dan PKB. Dua partai yang bersama PKS mengusung Anies dan Muhaimin Iskandar berhelat di Pilpres 2024. Tentu tak ada yang merespons syarat PKS dengan tawaran absurd itu.
Muncul pula suara-suara dari elite PKS, karena Anies tak mampu menjalin komunikasi dengan partai lain untuk menambah 4 kursi itu, maka PKS tak mau spekulasi tak menentu. Maka gerak cepat mendekati Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang dimotori Gerindra yang diketuai Prabowo Subianto, yang juga presiden terpilih 2024-2029. Keniatan untuk bergabung itu disampaikan elite PKS serius dengan nada canda, supaya terlihat soft. Atau bahkan terang-terangan menyatakan akan membersamai Prabowo.
Keinginan PKS itu tentulah disambut suka cita. Suara angin mendesir menyebut, calon PKS itu akan diberi posisi sebagai calon wakil gubernur dari Ridwan Kamil. Muncul nama dari PKS itu inisial S. Inisial yang menunjuk pada Suswono.
Tentu tidak itu saja, sebagai partai yang punya kans menjegal Anies untuk berlaga di Pilkada Jakarta, PKS punya nilai tinggi bernegosiasi berapa kursi menteri yang diberikan. Nilai tawar tinggi PKS itu tak terpisahkan dengan Anies Baswedan (Lihat opini penulis "Anies Effect dan Bargaining Value", 10 Agustus 2024).
Mencermati pilihan PKS berkoalisi dengan KIM, dan suka cita KIM menyambutnya itu lebih pada simbiosis mutualisme yang sama-sama menguntungkan. Bagi KIM bergabungnya PKS itu sebuah keuntungan karena mampu menghentikan Anies bisa berlaga di Pilkada Jakarta 2024.
Perpisahan PKS dengan Anies tak perlulah disesali apalagi sampai memunculkan kesedihan. Biarkan saja PKS nyaman dengan pilihannya. Jika sesal mesti hadir, itu jika sampai Anies tak bisa berlaga di Pilkada Jakarta 2024. Itu baru sesal luar biasa.
Karenanya, PKS yang bersandar pada value dan sebagai alat pengabdian, namun di Pilkada Jakarta 2024 ini mesti memilih jalannya sendiri. Sungguh musykil jika tak mengukur seberapa besar konsekuensi hukuman dari konstituennya atas pilihan politiknya yang bergeser coba memilih jalan pragmatis. Dan, itu tak beda dengan partai lain.**