Menavigasi Algoritma Citra Jenama

Oleh: Hopiatul Islami

(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Paramadina)

Algoritma bagaikan pedang bermata dua. Viralitas memberi kemudahan dalam membangun citra jenama. Di sisi lain, kehancuran reputasi yang dibangun bertahun-tahun juga terasa lebih dekat, krisis di depan mata. Bahkan tidak pernah disangka pada era ini, video berdurasi beberapa detik itu memiliki kekuatan dalam membalikkan keadaan.

Beberapa waktu lalu sebuah video sederhana selebgram Azizah Salsha di Jakarta Fashion Week sontak mendapatkan perhatian lebih dari warganet, pasalnya selebgram cantik ini sedang banyak dihujat netizen karena masalah perceraian dengan sang mantan suami, Pratama Arhan yang masih menjadi bulan-bulanan netizen.

Tidak lama dari kasus itu, sebuah brand pakaian olahraga Indonesia yaitu ERSPO (Ergonomic Sporty Outfit) yang merupakan sub-brand dari merek streetwear ternama, Erigo menjadikan selebgram cantik yang penuh kontroversi tersebut sebagai muse yang tampil mewakili ERSPO pada acara Jakarta Fashion Week.

Dalam video yang viral di media sosial, Azizah Salsha tampil mengenakan tanktop putih dan mini skirt plisket warna toska sambil membawa raket padel. Krisis melanda ERSPO dalam beberapa jam terlihat dari aksi warganet yang berbondong-bondong menyerang akun resmi Instagram dan TikTok milik ERSPO.

Dalam konteks ini, Azizah Salsha yang kerap dipanggil Zize tidak salah sepenuhnya. Dilansir dari sciencewatchdog.id, algoritma media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten yang menghasilkan keterlibatan tinggi, pada umumnya pengguna cenderung lebih tertarik dan terlibat dengan konten yang membangkitkan emosi moral sehingga menyulut amarah.

Kontroversi Zize dengan mantan suaminya belum mereda pasca perceraian karena isu perselingkuhan yang membuat dirinya mendapatkan sanksi sosial berupa cancel culture. Hal ini sangat berdampak bagi brand ESPRO yang diwakilkan Zize pada event bergengsi Jakarta Fashion Week pada akhir Oktober 2025.

Sebagai brand yang besar, memahami cara kerja algoritma merupakan suatu keharusan. ERSPO sendiri tidak begitu peka dalam memilih muse, pada era keterbukaan media ini seharusnya tidak begitu sulit untuk menemukan muse yang sesuai dengan value brand. Kesalahan ini tidak semata-mata karena Zize, melainkan juga karena ERSPO sendiri yang bisa jadi tidak memikirkan konsekuensi dari pemilihan muse yang kurang tepat.

Algoritma kadang tidak berpihak pada sesuatu yang kita anggap bernilai melainkan pada sesuatu yang diberi perhatian lebih oleh publik, tidak perduli itu hal buruk sekalipun. Hal positif lebih sering tenggelam secepat kilat karena tidak ada unsur yang membuat publik tergerak untuk bertahan lebih lama dan berkomentar, saat itulah algoritma tidak berpihak. Maka dari itu, pentingnya untuk menavigasi algoritma untuk meminimalisir ketidak berpihakan algoritma.

Beberapa hari setelah dibanjiri hujatan, ERSPO mengambil langkah bijak dengan melakukan klarifikasi serta pemintaan maaf cepat melalui Intagram.

A screenshot of a phoneAI-generated content may be incorrect.

ERSPO akui kesalahan pemilihan muse Azizah Salsha, berjanji belajar dari masukan netizen untuk jadi lebih baik dan menghormati semua pihak. Respons ini gunakan strategi sederhana tapi efektif, transparan tanpa defensif berlebih. Jika diam saja, krisis mereka makin parah karena narasi negatif tidak bisa dibendung.

Hal ini selaras dengan model teori SCCT (Situational Crisis Communication Theory) Timothy Coombs (2007), Teori ini menekankan pentingnya menyesuaikan respons krisis berdasarkan variabel situasional yang ada agar reputasi organisasi tetap terjaga.

Pada kasus ERSPO, strategi yang digunakan adalah pendekatan rebuilding, yaitu langkah untuk memperbaiki dan membangun kembali kepercayaan publik setelah kejadian yang merugikan. Respons ERSPO yang menampilkan permintaan maaf tulus kepada seluruh pihak yang terdampak, diiringi dengan pengakuan kesalahan secara terbuka dan komitmen melakukan evaluasi menyeluruh, merupakan tindakan yang tepat dan efektif.

Pendekatan ini bukan hanya menunjukkan kesungguhan organisasi dalam bertanggung jawab, tetapi juga membuka jalan bagi pemulihan reputasi yang cepat. Hasilnya, krisis yang sempat mengguncang mulai mereda dan bahkan algoritma media sosial berangsur mendukung ERSPO. Hal ini membuktikan bahwa respons tepat bisa membalikkan algoritma jadi peluang rebuild trust yang mengedepankan transparansi.

Brand harus mampu beradaptasi dengan algoritma. Konsumen saat ini tidak hanya pasif menerima, tetapi turut aktif mengawasi dan memberikan penilaian tajam. Kesalahan sekecil apa pun sering kali langsung berujung pada boikot yang meluas, dan akibatnya adalah kerugian besar bagi brand. Oleh karena itu, membangun komunitas yang solid dan interaktif agar komunikasi dua arah bisa terjalin dengan baik menjadi penting.

Selain itu, kolaborasi dengan influencer yang kredibel dan punya integritas yang sesuai dengan value brand menjadi kunci untuk memperluas jangkauan sekaligus membangun kepercayaan. Brand juga harus fokus pada pembuatan konten yang bermakna, bukan sekadar mengejar viralitas negatif yang merusak citra. Pada era ekonomi perhatian (attention economy) ini, brand lokal wajib segera melakukan evaluasi dan penyesuaian strategi. Jika tidak, mereka akan terpuruk dan tenggelam dalam persaingan yang semakin ketat.

Akhirnya, krisis yang menimpa ERSPO bisa menjadi pengingat penting bahwa ekosistem digital hari ini bekerja dengan cara yang berbeda dari era komunikasi konvensional. Reputasi tidak lagi dibangun hanya melalui kualitas produk dan kampanye pemasaran, tetapi juga melalui kemampuan brand membaca sentimen publik dengan tepat.

Algoritma tidak sekedar menampilkan konten, tetapi juga membentuk persepsi kolektif yang sulit dikendalikan. Karena itu, kesiapan menghadapi krisis harus menjadi bagian dari strategi inti, bukan hanya langkah reaktif ketika masalah datang. Brand yang mampu mengelola narasi dengan tepat, jujur, dan responsif akan memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dan kembali mendapatkan kepercayaan publik.

Kasus ERSPO dapat menjadi pembelajaran bagi brand lain bahwa algoritma tidak bisa dilawan, tetapi bisa dinavigasi melalui komunikasi yang konsisten, berbasis pada nilai brand, dan berorientasi pada publik. Adaptasi bukan berarti tunduk pada tekanan warganet, tapi coba memahami bahwa publik saat ini memiliki peran langsung dalam menentukan arah reputasi sebuah brand.

Keberhasilan brand juga dilihat dari komitmen jangka panjang terhadap audiensnya. Jika brand mampu mengubah tekanan algoritma menjadi peluang untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan transparan, maka bukan hanya reputasi yang terselamatkan tapi juga masa depan brand itu sendiri.