Nyinyir Dalam Konteks Kekinian

Oleh: Abd. Muqit

(Dosen Prodi Bahasa Inggris Polinema Malang)

Sepanjang tahun 2024 sampai tahun baru 2025, kita semua telah terbiasa mendengar istilah  “nyinyir” dan “critics” di jagad sosial media. Saking derasnya penggunaan kedua istilah tersebut, kita sampai bingung membedakannya mana yang masuk dalam kategori “nyinyir” dan “critics”. Agar masyarakatb sosial,media dan masyarakat umum di Indonesia tidak menjadi bingung dengan penggunaan dua istilah tersebut, berikut dipaparkan maknanya dalam konteks kekinian.

Istilah “nyinyir” merupakan kata serapan dari bahasa Jawa “nyinyir” yang kemudian kata tersebut  disadur menjadai kosa kata Indonesia. Kemudian, kata tersebut bilaman diartikan dalam bahasa inggris  menjadi “talktive”. Kata ini memiliki  konotasinya dapat berbeda-beda berdasarkan konteksnya. Dalam pengertian yang lebih dalam, “nyinyir” sering kali mengacu pada perilaku yang ditandai dengan sikap terlalu kritis atau sarkastik, terutama terhadap tindakan atau kualitas positif orang lain. Selanjtnya, dalam sosial media penggunaan direferensikan kepada  kecenderungan untuk mengomel atau mengeluh tentang perbuatan yang dilakukan  orang lain dan perbuatan tersebut dipersepsikan negatif.

Tujuan, tone, hasil, dan konteksnya

Tujuan perbuatan “nyinyir” adalah dimaksudkan untuk mengejek atau maki-maki, seringkali tanpa tujuan yang membangun. Sedangkan nadanya (tone)nya adalah sarkasme, mengejek dan menghina. Hasil (outcome) nya adalah Nyinyir sering kali menimbulkan konflik atau sikap defensif karena ditujukan. Akhirnya, konteknya merupakan kepada individu secara pribadi umumnya ditemukan dalam suasana informal seperti platform media sosial di mana penilaian cepat dibuat. Subjek dari “nyinyir” adalah sialah siapa saja yang penting punya media. “pelaku “nyinyir” dapat dikenahi pada hukum bilamana nyinyirannya tidak sesuai denagn fakta otentik.

Sebaliknya, “critics” adalah konsep yang lebih luas yang melibatkan analisis dan penilaian terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu. Kritik dapat bersifat membangun atau merusak. Kritik yang membangun bertujuan untuk memberikan umpan balik yang membantu memperbaiki subjek yang dikritik, sedangkan kritik yang merusak berfokus pada meremehkan tanpa menawarkan wawasan yang bermanfaat.

Kritik dapat diterapkan pada berbagai bidang seperti sastra, seni, pertunjukan, dan bahkan perilaku pribadi. Sedangkan tone dari critics merupakan usaha untuk  mengevaluasi dan memberikan umpan balik, yang bisa positif atau negatif. Selanjutnya tone dari critics adalah dapat  disampaikan dengan nada netral yang bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan perbaikan. Sedangkan hasil dari critics biasanya dapat disampaikan dengan nada netral yang bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan perbaikan.

Konteksnya, critics dapat terjadi dalam tinjauan formal, diskusi akademis, atau evaluasi profesional yang mengharapkan analisis terperinci. Dan subyek dari critics merupaka para pakar dan ahli dibidangnya yang memilki otoritas menyuarakan topic yang sedang diperbincangkan. Kritik tidak ada hubungannya denagn masalah hukum karena akademik, dan konstruktif.

Dalam konteks kekiniannya, kata nyinyir dan kritik berseliweran setiap detik di jagat maya sosial media. Akibatnya, para penikmat sosial media merasa bingung dengan penggunaan terminologi nyinyir dan critics. Keduanya digunakan secara tumpang tindih dalam penyebaran wacana, berita di Indonesia.

Terkadang, kita menyaksikan bahwa yang critics dijadikan nyinyir dan sebaliknya nyinyir menjadi critics. Hal ini terjadi karena dalam wacana public di Indonesia belum diatur sedemikian rupa, demarkasi dari penggunaan kedua istilah tersebut dan belum berjalannya nilai moral  (morality values), tanggung jawab (responsibily), teladan ( exemplary), dan seorang peminpin visioner (visionary leader). Kemudian, apa yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas dalam regularitas hukum public dan media di Indonesia.

Kalau diperhatikan dengan cermat, tujuan perbuatan “nyinyir” adalah dimaksudkan untuk mengejek atau maki-maki, seringkali tanpa tujuan yang membangun. Sedangkan nadanya (tone) nya adalah sarkasme, mengejek dan menghina. Hasil (outcome) nya adalah Nyinyir sering kali menimbulkan konflik atau sikap defensif karena ditujukan.

Akhirnya, konteknya merupakan kepada individu secara pribadi umumnya ditemukan dalam suasana informal seperti platform media sosial di mana penilaian cepat dibuat. Subjek dari “nyinyir” adalah sialah siapa saja yang penting punya media. “pelaku “nyinyir” dapat dikenahi pada hukum bilamana nyinyirannya tidak sesuai denagn fakta otentik.

Sebaliknya, “critics” adalah konsep yang lebih luas yang melibatkan analisis dan penilaian terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu. Kritik dapat bersifat membangun atau merusak. Kritik yang membangun bertujuan untuk memberikan umpan balik yang membantu memperbaiki subjek yang dikritik, sedangkan kritik yang merusak berfokus pada meremehkan tanpa menawarkan wawasan yang bermanfaat.

Kritik dapat diterapkan pada berbagai bidang seperti sastra, seni, pertunjukan, dan bahkan perilaku pribadi. Sedangkan tone dari critics merupakan usaha untuk  mengevaluasi dan memberikan umpan balik, yang bisa positif atau negatif.

Selanjutnya tone dari critics adalah dapat  disampaikan dengan nada netral yang bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan perbaikan. Sedangkan hasil dari critics biasanya dapat disampaikan dengan nada netral yang bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan perbaikan.

Konteksnya, critics dapat terjadi dalam tinjauan formal, diskusi akademis, atau evaluasi profesional yang mengharapkan analisis terperinci. Dan subjek dari critics merupaka para pakar dan ahli dibidangnya yang memilki otoritas menyuarakan topic yang sedang diperbincangkan. Kritics tidak ada hubungannya denagn masalah hukumk karena akademik, dan konstruktif.

Dalam konteks kekiniannya, kata nyinyir dan kritik berseliweran setiap detik di jagat sosial media. Akibatnya, para penikmat sosial media merasa bingung dengan penggunaan terminologi nyinyir dan critics. Keduanya digunakan secara tumpang tindih dalam penyebaran wacana, berita di Indonesia.

Terkadang, kita menyaksikan bahwa yang critics dijadikan nyinyir dan sebaliknya nyinyir menjadi critics. Hal ini terjadi karena dalam wacana public di Indonesia belum diatur sedemikian rupa, denarkasi dari penggunaan lkediua istilah tersebut.

Kemudian, apa yang harus dilakukan oleh piohak-pihak yang memiliki otoritas dalam regularitas hukum public dan media di Indonesia.

Sehubungan dengan tumpang-tindihnya penggunaan kedua istilah di atas, kementerian Agama Republik Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang “Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial”.  

Sementara pemerintah sudah lebih dulu meluncurkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang “Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)” serta perubahannya, yaitu UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE. Namun, keberadaan beberapa aturan di atas tak cukup untuk membendung luapan banyak komentar dan  penyebaran ulang mengenai berita-berita tersebut.

Sebagai salah satu solusi dari kompleksitas di atas adalah dengan peningkatan religious melalui pendidikan agama. Point ini khususnya pada peningkatan konsep dan aplikasi moralitas berbasis  akhlak amat sangat diperlukan serta sosialisasi kepatutan dalam masalah teknologi Informasi (TI).

Dengan demikian, yang menjadi pedoman seseorang dalam mengekspresikan fikirannya adalah nilai moral (morality value). Nilai moral (morality value) akan memandu dan mengarahkan seseorang dalam menyalurkan fikiran dan aspirasinya. Dengan ini individu dapat menjawab dan mengartikan sendiri apakah fikirannya masuk dalam kategori nyinyir atau kritik.

Dalam perspektif agama, nyinyir  identik dengan ghibah. Ghibah atau menggunjing adalah menyebutkan sesuatu  yang terdapat pada saudaranya ketika ia tidak hadir dengan sesuatu yang benar tetapi tidak disukainya, seperti menggambarkannya dengan apa yang dianggap sebagai kekurangan menurut umum untuk meremehkan dan menjelekkan.

Maksud saudaranya di sini adalah sesama muslim. Termasuk sebagai ghibah adalah menarik perhatian seseorang terhadap sesuatu dimana orang yang dibicarakan tidak suka untuk dikenali seperti itu. Pada umumnya manusia tidak suka kekurangan atau hal-hal negatif yang ada pada dirinya menjadi bahan perbincangan publik.

An Nawawi memberikan penjelasan tentang hal-hal yang disebut antara lain: keadaan tubuhnya, agamanya, dunianya, dirinya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, isterinya, pembantunya, pakaiannya, gerak-geriknya, raut mukanya, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya.

Namun, dalam kondisi tertentu, ada beberapa jenis ghibah yg diperbolehkan. Misalnya, (1) Mengadukan kezhaliman seseorang kepada pihak yang berwenang; (2) Mencari bantuan atau pertolongan kepada yang memiliki autoritas untuk menghilangkan kemungkaran; (3) Saat meminta fatwa dan menceritakan masalahnya agar mendapat solusi; (4) Memperingatkan kaum Muslim agar terhindar dari keburukan seseorang dan menasihati mereka, contohnya melaporkan pejabat yang tidak amanah; (5) Menyebutkan orang yang melakukan dosanya secara terang-terangan seperti minum khamr, merampas harta orang, dan lainnya; (6) Menyebutkan ciri atau julukan seseorang agar mudah dikenali, misalnya “si fulan yang buta matanya” dan semacamnya.

Imam al-Ghazali rahimahullah berkata bahwa orang yang memiliki maksud yang benar, tetapi cara atau prosedur yang ditempuhnya keliru, maka ia termasuk dungu/pandir. Sebaliknya, langkah dan kaidah sudah benar, namun tujuannya salah adalah merupakan kegilaan atau kesesatan Keduanya bukanlah merupakan adab dan akhlak yang mulia alias biadab dan zhalim. Sekalipun kita membenci seseorang, Allah Swt. telah memerintahkan untuk tetap berbuat adil.

Selain nilai moral di atas, adanya keteladanan dari seoang peminpin (exemplary) sangat diperlukan. Keteladanan dalam beberapa aspek kehidupan, seorang peminpin perlu menunjukkan kepada yang dipimpinnya bagaimana cara menyalurkan aspirasinya, bertingkah laku, sosial responsibility-nya, caring-nya, atensinya, dan visi dalam memasyarakatkan pembangunan dan dalam memajukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanpa adanya kesadaran akan nilai moral (morality values), keteladanan (examplary), tangung-jawap (responsibility), kepedulian social (social caring), dan keadilan sosial (social justice)  dalam banyak hal, nyinyir akan menjadi budaya dan kritik akan menjadi tidak berdaya.  

Perbuatan nyinyir mestinya dilakukan oleh orang-orang yang kurang terdidik. Bilamana ada orang terdidik, akademisi, DPR, menteri dan lainnya masih berbuat nyinyir, saya menyangsikan apakah dia tahu bedanya antara kritik dan nyinyir.

Saya berdoa dan berharap semoga kalangan intelektual dan orang yang diamanahi suatu pekerjaan atau jabatan publik  tidak nyinyir. Semoga kita tidak menjadi bangsa yang nyinyir tetapi mengedapankan kritik yang tajam, tegas, bermoral, bertanggung-jawab, dan menyuarakan aspirasi masyarakat, Semoga.