Oleh: Abd. Muqit
(Dosen Prodi Bahasa Inggris Polinema Malang)
Di kalangan akademisi, kata referensi sudah menjadi kosa kata sehari-hari. Seluruh insan akademika, tentunya sudah paham, mengetahui, dan mengerti tentang referensi walaupun masih belum menguasainya. Istilah paham, mengetahui, dan familiar memandang referensi dari sudut verbalitas saja dan komunikasi sehari-hari. Namun demikian, orang yang paham, mengetahui, dan familiar terhadap referensi belum tentu menguasainya walaupun masih dalam domain berpikirnya (domain stock).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah referensi mengacu pada sumber acuan (rujukan, petunjuk). Atau koleksi referensi yang memuat informasi tertentu akan memberikan jawaban terhadap pertanyaan tertentu. Sedangkan kamus Webster Dictionary mendefinikan refernsi sebagai sumber informasi (seperti buku atau bagiannya) yang menjadi rujukan pembaca atau konsultan.
Melihat dua pengertian tentang referensi dapat dipahami bahwa segala informasi akademik seharusnya dan wajib memiliki referensi. Itulah sebenarnya yang membedakan kalangan dunia akademik dan non akademik. Para insan akademik atau civitas akademika seyogyanya dalam membuat, memberikan, dan menyalurkan informasinya diharuskan memiliki referensi. Dengan demikian berita yang diperolehnya menjadi valid dan saheh.
Merujuk tulisan Prof. Patrisius D. tentang kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) di dunia akademik yang merupakan fakta dan tidak dapat dihindari. Ia menulis opini tentang kampus dan responsnya terhadap AI, dan mengungkapkan bahwa setidaknya ada empat ragam kampus dalam menyikapinya: kampus oportunis, kampus bijaksana, kampus cerdas, dan kampus acuh tak acuh.
Anda dan dunia akademik Anda termasuk dalam kelompok mana? Terserah pembaca sendiri yang dapat mengklaster dirinya dan masuk kategori yang mana saja, para pembaca yang lebih tahu. Nah, itulah kenyataannya yang dapat dilihat dan dinikmati dalam dunia akademis kita dan tak ada seorangpun yang menolaknya.
Kenapa masalah AI menjadi ramai, dan menjadi pembahasan para civitas akademika di beberapa harian terkemuka baik secara digital maupun cetak? Akar masalahnya terletak pada kurang kuatnya referensi di kalangan insan akademika kita.
Dengan kata lain para civitas akademika kurang scientific, kurang kreatif, kursang produktif dan kurang-kurang lainnya. Senadainya budaya refernsio berjalan dengan tepat di dunia akademik, bulan-bulanan seperti di atas tidak akan muncul.
Beberapa sindiran dan cibiran kepada dunia akaemik antara lain tentang joki skripsi dan masih banyak lainnya menjadi ulasan hangat di berbagai media. Demikian juga plagiarisme. Ini semacan dua mata pedang. Sudah joki, masih plagiarime lagi. Yah, sudah kwadrat jadinya bentuk pelanggaran etika dalam akademik dan kurang berkualitasnya moral akademiknya.
Salah satu solusinya dari pandangan minor terhadap civitas akademika adalah diperkuatnya budaya referensi di dunia kampus. Nah, inilah yang menyelamatkan muka dunia akademik. Kualitas individu dapat diperhatikan dan diamati ketika dia menyampaikan gagasan, ide, dan konsep dalam setiap wacana yang dia sampaikan.
Dunia akademik pasti selalu menghindari pandangan personal. Kenapa demikian? Ini bisa dipahami bahwa pandang pribadi tanpa adanya referensi pasti tidak kuat (personal idea tends to be unacademic). Menurut Prof. Budi Dharma, seorang mahasiswa tidak boleh menyampaikan informasi spesifik terhadap sesuatu.
Menurutnya, ucapan mahasiswa wajib berdasar pada sebuah referensi. Orang yang boleh melontarkan sesuatu berdasarkan konsepnya adalah mereka yang sudah memiliki lisensi akademik yaitu mereka yang telah bergelar profesor/ guru besar, dan para doktor. Dua kelompok ini memiliki free academic perception.
Pernyataan ini memang dirasa cukup aneh. Namun dilihat dari prespektif kontektualitas saat ini amat benar adanya. Ternyata referensi inilah yang membedakan akademika di negara maju dan negara-negara berkembang.
Seyogyanya, pendidikatan tinggi diberi mata kuliah referensi dan domain lainnya sejak dini alias mahasiswa sejak dini diwajibkan bergantung pada referensi. Dengan ketergantungan pada referensi inilah yang menguatkan jati diri civitas akademika di Indonesia. Bayangkan, kini untuk menulis artikel di jurnal bereputasi setidaknya perlu meletakkan referensi di atas 60 pada sebuah artikel.
Betapa pusingnya civitas akademika kita dihadapkan pada problem faktual dan aktual yang bernama referensi. Kita biasanya bermain antara 5-10 referensi saja selama ini. Dengan menguatkan dunia referensi di civitas akademika kita, maka budaya kualitas, berkembang, berkemajuan, dan elegance akan menyusul kemudian secara otomatis.
Efek yang akan timbul seiring dengan menguatnya referensi dan menciptakan budaya referensi maka, AI tidak akan menjadi masalah bagi para mahasiswa karena terbiasa mencari sumbernya yang valid. Masalah perjokian dengan sendirinya akan menjadi pudar. Kualitas perguruan tinggi akan semakin diperhitungkan karena produk yang dihasilakan paling tidak equivalen dengan negara yang maju.
Kualitas dan mutu penelitian dan pelatihan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi semakin diterima. Yang menjadi persoalan, apakah kita mau berkembang maju atau tidak. Semuanya tergantung pada penentu kebijakan. Untuk itu, marilah kita membangan kemajuan bangsa bersama-bersama. Dunia kita adalah dunia akademik, saatnya berkembang dengan meningkatkan budaya referensi.